Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro dalam kalender Jawa kerap diidentikkan dengan atmosfer magis, penuh pantangan, dan ritual keheningan. Tidak seperti perayaan tahun baru di budaya lain yang riuh dan penuh keriangan, pergantian tahun Jawa justru diisi dengan suasana sunyi, kontemplatif, dan sakral.
Rasa hormat terhadap Bulan Suro tertanam kuat dalam masyarakat Jawa karena diyakini sebagai momen transisi spiritual. Tak sedikit yang memanfaatkan waktu ini untuk menyepi, membersihkan batin, hingga mencari petunjuk dari alam gaib. Fenomena ini menjadi bagian dari kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa yang telah diwariskan turun-temurun.
Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan Bulan Suro dianggap sakral? Tradisi apa yang dijalankan, dan larangan apa yang harus ditaati? Berikut informasi lengkapnya, dirangkum untuk Anda.
Penyebab Bulan Suro Dianggap Sakral oleh Orang Jawa
Bulan Suro bukan hanya penanda tahun baru Jawa, melainkan juga simbol transisi energi dalam kosmologi budaya Jawa. Dalam kepercayaan kejawen, Suro dianggap sebagai waktu ketika tabir antara dunia fisik dan spiritual menjadi lebih tipis, sehingga komunikasi dengan dimensi gaib lebih memungkinkan terjadi.
Menurut akademisi, pemerhati masalah sosial dan budaya,Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum, penyebab utama kesakralan Suro berakar dari pandangan bahwa bulan ini penuh dengan muatan energi spiritual. Masyarakat Jawa percaya bahwa di saat inilah kekuatan-kekuatan halus sedang bergerak aktif, dan manusia dianjurkan untuk lebih berhati-hati dalam berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, banyak ritual dilakukan untuk menjaga harmoni antara dunia manusia dan dunia gaib.
"Seperti halnya ritual dalam menyambut bulan Suro. Ritual 1 Suro adalah ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa ketika masuknya bulan Muharram atau dalam penanggalan Jawa disebut dengan bulan Suro atau Suran. Tradisi ini telah dilakukan orang Jawa sejak zaman Mataram Islam masa pemerintahan Sultan Agung," katanya, mengutip laman Pemda Kabupaten Magelang.
Mengapa Orang Jawa Melakukan Tradisi di Bulan Suro?
Dalam menyambut dan menjalani Bulan Suro, masyarakat Jawa menjalankan empat ritual utama: semedi, sesirih, sesuci, dan sarasehan. Ritual ini bukan sekadar tradisi, melainkan bagian dari proses pembersihan lahir dan batin.
Semedi dilakukan sebagai bentuk perenungan diri, biasanya di tempat sunyi seperti gunung, sungai, atau hutan. Pelaku semedi mengasingkan diri untuk mencapai keheningan batin demi memperoleh petunjuk spiritual. Tujuan akhirnya adalah menyeimbangkan unsur jasmani dan rohani. Sesirih, atau tradisi mengurangi makan minum dan kebutuhan hidup telah menjadi simbol menekan hawa nafsu sebagai upaya untuk sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
"Masyarakat Jawa meyakini bulan Suro sebagai bulan untuk menjalankan laku sesirih atau laku prihatin seperti puasa patigeni, puasa mutih, puasa ngrowot, puasa ngebleng, kungkum, atau tirakat." lanjutnya.
Lalu ada sesuci, yakni upacara pembersihan diri dengan mandi di sumber air keramat seperti sendang. Proses ini dipercaya membersihkan aura negatif dan menjadi titik awal pembaruan spiritual seseorang. Biasanya dilakukan menjelang malam 1 Suro. Sarasehan adalah forum diskusi yang digelar oleh tokoh masyarakat, spiritualis, atau sesepuh desa. Dalam sarasehan, peserta membahas nilai-nilai kehidupan, kebudayaan, dan spiritualitas sebagai bentuk penguatan jati diri masyarakat. Semua tradisi ini dijalankan dengan tenang dan sakral, mencerminkan kearifan lokal yang menjunjung tinggi keseimbangan spiritual.
Ada Kepercayaan Mistis tentang Tulang Wangi dan Malam 1 Suro
Salah satu keyakinan yang lekat dengan malam 1 Suro adalah kepercayaan terhadap “tulang wangi”, yakni sosok atau orang yang telah mencapai tingkat spiritual tinggi dan memiliki aroma harum tanpa wewangian. Masyarakat percaya, pada malam itu, tulang wangi lebih mudah muncul karena alam sedang terbuka secara gaib.
Kepercayaan ini mendorong orang-orang tertentu untuk melakukan semedi atau tirakat pada malam 1 Suro. Mereka meyakini bahwa malam ini adalah waktu paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta atau berkomunikasi dengan leluhur dan makhluk halus.
Selain itu, banyak pula yang percaya bahwa malam 1 Suro adalah waktu munculnya kekuatan-kekuatan luar biasa yang tidak terlihat oleh mata biasa. Oleh karena itu, banyak tempat-tempat keramat, seperti makam tokoh besar atau petilasan raja, dipenuhi oleh peziarah.
"Tradisi berupa ritual di bulan Suro ini mendeskripsikan tentang hubungan manusia dengan alam, rasa syukur, dan tindakan spiritual masyarakat Jawa," katanya lagi.
Inilah Larangan di Malam 1 Suro Menurut Kepercayaan Jawa
Malam 1 Suro tidak hanya penuh dengan ritual, tetapi juga larangan yang sangat dipatuhi oleh masyarakat Jawa. Salah satu larangan paling terkenal adalah tidak menggelar pesta atau hajatan, karena dianggap tidak sopan di tengah suasana spiritual yang sakral.
Larangan lain termasuk tidak melakukan perjalanan jauh, terutama ke tempat yang tidak dikenal. Masyarakat percaya bahwa melakukan aktivitas besar di malam itu bisa mengundang kesialan, karena energi gaib sedang tidak stabil.
Pernikahan juga menjadi kegiatan yang dihindari pada malam dan bulan Suro. Mitos menyebutkan bahwa menikah di bulan ini akan membawa nasib buruk atau kesulitan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, banyak keluarga menunda pernikahan hingga bulan berikutnya.
Selain itu, larangan untuk bersenda gurau berlebihan, menyetel musik keras, atau menciptakan perselisihan juga berlaku. Semua ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual yang melekat di bulan Suro.
Makna Spiritualitas Bulan Suro bagi Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa, Bulan Suro bukan sekadar pergantian tahun, melainkan saat refleksi diri secara mendalam. Ini adalah momentum untuk menyucikan hati, mengoreksi kesalahan, serta memperkuat hubungan dengan Tuhan dan sesama.
Makna spiritualitas ini terlihat dari peningkatan aktivitas ibadah seperti ziarah, tirakat, dan wirid yang dilakukan secara diam-diam. Mereka yang percaya pada kejawen juga melakukan meditasi atau puasa sebagai bentuk pengekangan diri dari hawa nafsu.
Suro juga mengajarkan bahwa kehidupan bukan hanya tentang dunia fisik, tetapi juga dunia batin dan energi. Oleh karena itu, semua tindakan pada bulan ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara dua dunia tersebut.
Pada akhirnya, Bulan Suro memberikan ruang bagi masyarakat Jawa untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia, lalu masuk ke ruang sunyi batin yang menyatukan manusia dengan semesta. Di sanalah letak nilai spiritual yang sesungguhnya.
Pertanyaan Umum Seputar Bulan Suro (People Also Ask)
1. Mengapa Bulan Suro dianggap sakral oleh masyarakat Jawa?
Karena dipercaya sebagai waktu terbukanya tabir gaib, penuh energi spiritual, dan berkaitan dengan tradisi Islam dan kejawen.
2. Apa saja tradisi yang dilakukan pada Bulan Suro?
Tradisinya antara lain semedi, sesirih, sesuci (mandi keramat), dan sarasehan spiritual.
3. Mengapa malam 1 Suro ditakuti?
Karena diyakini menjadi waktu puncak kekuatan gaib muncul dan menjadi malam keramat.
4. Apa saja larangan di malam 1 Suro?
Tidak boleh menikah, bepergian jauh, mengadakan pesta, atau melakukan aktivitas gaduh.
5. Apa tujuan spiritual Bulan Suro?
Untuk refleksi batin, menyucikan diri, mendekatkan diri pada Tuhan, dan menjaga harmoni semesta.