Liputan6.com, Jakarta Banyak masyarakat Jawa masih meyakini malam satu Suro sebagai waktu penuh nuansa spiritual dan makna mendalam. Dalam berbagai perayaan tradisional, malam tersebut dianggap membawa energi khusus yang mendorong orang untuk bersikap tenang dan mawas diri. Namun, sebagian kalangan awam kerap mempertanyakan kembali, apakah malam satu Suro berbahaya secara nyata atau hanya sebatas keyakinan budaya turun-temurun?
Keunikan malam satu Suro terletak pada perpaduan antara nilai adat dan unsur religius. Momen ini sering kali ditandai dengan beragam prosesi diam dan hening seperti Tapa Bisu, serta ziarah ke makam leluhur. Tidak sedikit orang mulai menelusuri sudut pandang yang lebih rasional dengan mempertanyakan apakah malam satu Suro berbahaya, terutama di tengah era modern yang semakin terbuka terhadap diskusi lintas budaya dan keyakinan.
Persepsi terhadap malam satu Suro terus berkembang seiring perubahan zaman. Sebagian tetap menjunjung nilai-nilai leluhur sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah, sedangkan yang lain melihatnya sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dikaji ulang. Dalam wacana tersebut, pertanyaan apakah malam satu Suro berbahaya menjadi pembuka diskusi menarik antara tradisi dan logika masa kini.
Simak penjelasan tentang apakah malam satu Suro berbahaya yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (25/6/2025).
Malam 1 Suro 2022 atau 1 Muharram 1444 H jatuh pada 29 Juli 2022, menandakan awal tahun baru penanggalan Islam dan Jawa. Malam 1 Suro juga dipercaya sebagai waktu munculnya lelembut ke alam manusia. Untuk itu, ada sejumlah pantangan bagi masyarakat J...
Apakah Malam Satu Suro Berbahaya?
Malam satu Suro sering kali dipandang dengan nuansa misterius dan penuh kehati-hatian, terutama di kalangan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi warisan budaya leluhur. Malam ini bertepatan dengan 1 Muharram dalam penanggalan Hijriah dan juga menjadi awal tahun dalam kalender Jawa. Meskipun banyak orang mengaitkan malam satu Suro dengan suasana angker, larangan mistis, dan kewaspadaan tinggi, penting untuk dicermati bahwa hal tersebut lebih merupakan bagian dari kepercayaan adat, bukan fakta yang menunjukkan bahwa malam ini berbahaya secara nyata.
Beragam mitos dan pantangan memang menyelimuti malam sakral ini. Mulai dari larangan keluar rumah setelah maghrib, anjuran untuk tidak menggelar hajatan, hingga imbauan agar tidak mengucapkan kata-kata kasar, semuanya berakar pada nilai-nilai spiritual dan keyakinan masyarakat akan pentingnya menjaga diri dan sikap pada malam yang diyakini penuh energi gaib ini. Namun demikian, secara logis maupun ilmiah, tidak ada bukti konkret bahwa malam satu Suro membawa bahaya langsung. Ritual dan aturan yang dilakukan lebih bersifat simbolik untuk mendorong ketenangan batin, introspeksi dan kedekatan dengan Yang Maha Kuasa.
Pada tahun 2025, malam satu Suro berdasarkan konversi kalender Jawa akan berlangsung pada hari Kamis malam, tepatnya tanggal 26 Juni 2025, dimulai sejak waktu maghrib. Sementara itu, tanggal 1 Suro itu sendiri jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Uniknya, momen ini juga bertepatan dengan 1 Muharram 1447 Hijriah, menandai Tahun Baru Islam sekaligus Tahun Baru Jawa. Yang menarik, malam tersebut jatuh pada Jumat Kliwon, yakni hari yang dalam kepercayaan masyarakat Jawa dipercaya memiliki intensitas spiritual yang tinggi.
Kombinasi antara malam Jumat Kliwon, awal bulan Muharram, dan malam 1 Suro menjadikan tanggal tersebut sebagai salah satu titik waktu yang dianggap sangat sakral dan penuh makna. Masyarakat di berbagai daerah menyambutnya dengan upacara adat, doa bersama, hingga prosesi spiritual seperti Tapa Bisu, doa di makam leluhur, dan pembersihan pusaka. Tujuan utama dari kegiatan-kegiatan ini bukan untuk menghindari bahaya, melainkan untuk memohon keselamatan, keberkahan, dan perenungan mendalam menjelang lembaran baru dalam hidup.
Jadi, menjawab pertanyaan apakah malam satu Suro berbahaya, jawabannya adalah tidak secara langsung. Malam ini tidak menimbulkan ancaman fisik atau bencana yang pasti terjadi. Namun karena nilai-nilainya yang sangat sakral dalam pandangan budaya Jawa, masyarakat lebih memilih untuk menjaga kesederhanaan, menghindari keramaian, serta memperbanyak doa dan kontemplasi. Dengan kata lain, malam satu Suro lebih layak dipahami sebagai momen spiritual yang penting, bukan sebagai malam yang harus ditakuti.
Tradisi Budaya yang Masih Dilestarikan di Malam 1 Suro
Malam 1 Suro, yang menandai datangnya tahun baru dalam penanggalan Jawa dan Hijriah, bukan hanya dikenal karena pantangan-pantangannya. Di berbagai daerah di Pulau Jawa, masyarakat masih melestarikan sejumlah tradisi yang sarat makna spiritual dan nilai kebudayaan. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari warisan leluhur, tetapi juga menjadi simbol introspeksi, syukur, serta harapan akan keselamatan dan keberkahan di tahun yang akan datang. Berikut adalah beberapa tradisi malam 1 Suro yang masih lestari hingga saat ini:
1. Tradisi Jenang Suran: Doa dan Hidangan untuk Masyarakat
Di Kompleks Makam Raja-Raja Mataram, Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta, para abdi dalem dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta menyelenggarakan sebuah prosesi spiritual yang disebut Jenang Suran. Tradisi ini dilakukan setiap malam 1 Suro sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan permohonan keselamatan bagi masyarakat.
Sebelum memanjatkan doa dan melantunkan tahlil, para abdi dalem mengarak ubo rampe berupa tumpeng, ingkung ayam kampung, serta jenang suran yang merupakan bubur merah putih khas dalam budaya Jawa. Setelah prosesi doa selesai, jenang suran dibagikan kepada masyarakat yang hadir dengan jumlah yang mencapai sekitar 1.000 porsi. Banyak warga percaya bahwa jenang ini membawa keberkahan karena telah didoakan dalam upacara sakral tersebut.
2. Cuci Pusaka: Simbol Syukur dan Warisan Budaya Leluhur
Di Desa Tanjung, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, terdapat tradisi Ngumbah Pusaka atau mencuci benda pusaka yang dilaksanakan secara khusus pada malam 1 Suro. Dikutip dari Jurnal Rihlah, ritual ini memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat setempat, bukan hanya sebagai simbol pembersihan fisik, melainkan juga sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan selama satu tahun terakhir.
Persiapan prosesi ini cukup panjang. Air kelapa yang dicampur dengan perasan jeruk nipis akan disiapkan beberapa hari sebelumnya dan dibiarkan mengendap dalam wadah khusus. Hanya pemilik sah pusaka atau ahli waris langsung seperti anak atau cucu yang diperbolehkan membersihkannya. Setelah selesai, pusaka dikembalikan ke tempat penyimpanan semula, disertai doa-doa dan harapan akan ketentraman di masa mendatang. Tradisi ini juga dianggap sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai spiritual serta kebudayaan Jawa yang diwariskan secara turun-temurun.
3. Tapa Bisu Mubeng Beteng: Ritual Keheningan Mengelilingi Benteng
Salah satu prosesi spiritual yang paling terkenal di malam 1 Suro adalah Tapa Bisu Mubeng Beteng, yang dilaksanakan di kawasan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini merupakan bentuk perenungan dan evaluasi diri atas perjalanan hidup selama satu tahun ke belakang, sembari mengharap keberkahan serta keselamatan di tahun berikutnya.
Peserta ritual, termasuk para abdi dalem, masyarakat umum, dan bahkan wisatawan, berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton dengan jarak tempuh sekitar 4 kilometer. Yang membuatnya unik adalah keharusan untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun selama prosesi berlangsung. Tidak diperbolehkan berbicara, tertawa, atau menunjukkan ekspresi emosional. Tradisi ini menjadi simbol keheningan batin, kekuatan spiritual, dan pengendalian diri. Dalam perspektif budaya Jawa, diam bukan berarti kosong, melainkan bentuk komunikasi batiniah dengan Sang Pencipta dan alam semesta.
4. Bari’an: Doa Bersama dan Sajian Daging Kambing di Kudus
Di wilayah Kudus, tepatnya di Desa Glagahwaru, Kecamatan Undaan, masyarakat masih mempertahankan sebuah tradisi khas malam 1 Suro yang disebut Bari’an. Dalam pelaksanaannya, warga bergotong royong menyembelih kambing di titik-titik tertentu seperti pertigaan atau perempatan jalan, menggunakan dana yang telah dikumpulkan dari iuran warga jauh hari sebelumnya.
Daging kambing yang telah disembelih akan dimasak dalam kuah khas, lalu dibagikan kepada seluruh keluarga dalam wadah khusus berupa nampan yang dilapisi daun pisang. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan tahlilan dan doa bersama yang diikuti oleh seluruh kepala keluarga. Setelah prosesi doa selesai, makanan tersebut dibawa pulang dan disantap di rumah masing-masing sebagai simbol berkah dan rasa syukur. Malam harinya, dilanjutkan dengan acara Manakiban, yaitu pembacaan wirid dan dzikir yang hanya diikuti oleh kaum pria, baik para ayah maupun anak laki-laki. Tradisi ini menjadi media perekat sosial, spiritualitas, serta pelestarian adat di tengah masyarakat modern.
Larangan Malam Satu Suro
1. Menghindari Aktivitas di Luar Rumah
Pada malam 1 Suro, sebagian besar masyarakat Jawa memilih untuk tetap berada di dalam rumah dan tidak melakukan kegiatan di luar. Tindakan ini berakar dari kepercayaan tradisional yang menyebutkan bahwa malam tersebut dianggap membawa energi mistis yang tidak menentu. Keluar rumah pada malam 1 Suro diyakini dapat mengundang nasib buruk, seperti kecelakaan, gangguan makhluk halus, atau kesialan yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Di samping itu, ada pula anggapan bahwa malam ini menjadi waktu berbahaya karena dipercaya sebagai saat beroperasinya kekuatan gaib, di mana sejumlah individu yang melakukan praktik pesugihan atau ilmu hitam mencari korban atau tumbal. Oleh sebab itu, masyarakat memilih diam di rumah sebagai bentuk perlindungan terhadap diri dan keluarga.
Melangsungkan pernikahan atau menggelar pesta besar lainnya, seperti syukuran atau acara adat, pada malam 1 Suro merupakan hal yang sangat dihindari oleh masyarakat Jawa. Terdapat kepercayaan bahwa menyelenggarakan acara sakral pada waktu ini dapat membawa dampak negatif terhadap masa depan, khususnya dalam hubungan rumah tangga. Pernikahan yang dilakukan pada malam 1 Suro diyakini berpotensi berujung pada perceraian, pertengkaran, atau kehidupan yang jauh dari kebahagiaan. Hal ini juga berlaku untuk berbagai bentuk hajatan lainnya, termasuk sunatan, selamatan, atau pesta ulang tahun. Karena diyakini sebagai malam yang sakral dan berat, masyarakat lebih memilih menunda kegiatan tersebut hingga bulan atau hari yang dianggap membawa keberuntungan.
3. Larangan Pindah Tempat Tinggal
Tradisi Jawa mengenal berbagai pantangan yang berkaitan dengan waktu dalam melakukan aktivitas penting, salah satunya adalah pindah rumah. Terutama pada malam 1 Suro, memindahkan tempat tinggal dianggap sebagai tindakan yang sangat berisiko. Mitos yang berkembang menyebutkan bahwa berpindah rumah pada malam tersebut dapat mengundang berbagai macam musibah, mulai dari kerugian finansial, penyakit misterius, hingga masalah yang tak kunjung selesai dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan ini tumbuh dari keyakinan bahwa perpindahan tempat tinggal di waktu keramat dapat membuka celah energi negatif yang berdampak buruk bagi keluarga. Oleh karena itu, masyarakat yang memegang teguh adat akan menunda proses pindah rumah hingga hari yang dianggap lebih bersih dan aman secara spiritual.
4. Menjaga Suasana Tetap Tenang dan Hening
Di berbagai wilayah Jawa, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta, malam 1 Suro diperingati dengan kegiatan spiritual yang disebut Tapa Bisu. Dalam ritual ini, masyarakat melakukan puasa berbicara dan menghindari segala bentuk suara atau kegaduhan. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan gaib serta sebagai momen untuk introspeksi dan perenungan diri. Tidak hanya menghindari percakapan, peserta ritual juga tidak makan, minum, atau merokok hingga pagi hari. Tujuannya adalah menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam serta memperkuat koneksi batin dengan dunia spiritual yang diyakini lebih aktif pada malam tersebut. Keheningan menjadi lambang ketenangan jiwa dan penghormatan terhadap nilai-nilai sakral malam 1 Suro.
5. Menghindari Ucapan Negatif dan Kata-Kata Kasar
Selain menjaga kesunyian, masyarakat Jawa juga meyakini bahwa ucapan memiliki kekuatan besar, terutama pada malam-malam keramat seperti 1 Suro. Oleh sebab itu, berbicara kasar, mencela, atau melontarkan kata-kata bernada buruk sangat dihindari. Kepercayaan yang berkembang menyatakan bahwa doa atau kata negatif yang diucapkan pada malam ini memiliki potensi besar untuk menjadi kenyataan. Sebaliknya, ucapan baik dan doa positif diyakini lebih mudah dikabulkan pada malam tersebut. Karena itu, banyak orang tua yang mengingatkan anak-anaknya untuk berhati-hati dalam bertutur kata sebagai bentuk perlindungan dari akibat buruk yang mungkin muncul dari kekuatan spiritual malam 1 Suro.
6. Tidak Melakukan Pembangunan Rumah
Aktivitas pembangunan rumah baru, baik dalam bentuk renovasi maupun memulai konstruksi dari nol, sangat dihindari pada malam 1 Suro. Kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun menyebutkan bahwa memulai pembangunan pada waktu ini akan membawa kesialan jangka panjang bagi penghuni rumah. Konsekuensinya bisa berupa musibah dalam keluarga, kesulitan ekonomi, rezeki yang seret, bahkan konflik internal antaranggota keluarga. Warga Solo, Yogyakarta, dan sekitarnya dikenal sangat menjaga tradisi ini. Mereka cenderung menunggu waktu yang dianggap lebih bersih secara spiritual, seperti setelah bulan Suro berlalu, untuk memulai proses pembangunan, agar rumah yang didirikan membawa keberkahan dan ketenteraman.
FQA Seputar Topik
1. Apakah malam satu Suro benar-benar membawa bahaya secara fisik?
Tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa malam satu Suro membawa bahaya secara fisik. Anggapan tersebut lebih bersumber pada kepercayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa, yang menjadikan malam ini sebagai momen untuk lebih berhati-hati, merenung, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
2. Dari mana asal kepercayaan bahwa malam satu Suro berbahaya?
Keyakinan tersebut berasal dari warisan budaya Jawa kuno, yang menganggap 1 Suro sebagai malam sakral. Malam itu dipercaya sebagai waktu ketika dimensi spiritual lebih terbuka, sehingga berbagai ritual dan larangan dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara alam manusia dan alam gaib.
3. Apa alasan masyarakat Jawa menghindari aktivitas tertentu pada malam satu Suro?
Masyarakat Jawa menghindari kegiatan seperti bepergian jauh, mengadakan pesta, atau memulai sesuatu yang besar karena malam satu Suro dipandang sebagai waktu untuk berdiam diri dan refleksi. Larangan tersebut diyakini mampu menghindarkan dari gangguan tak kasat mata dan menguatkan perlindungan spiritual.
4. Apakah semua orang harus takut menghadapi malam satu Suro?
Tidak. Rasa takut tidak semestinya menjadi respons utama. Justru, malam satu Suro bisa menjadi momentum introspeksi dan pemurnian diri. Selama seseorang menghormati tradisi dan menjaga niat baik, malam ini bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dihargai.
5. Bagaimana pandangan Islam terhadap anggapan bahwa malam satu Suro berbahaya?
Dalam Islam, malam 1 Muharram yang bertepatan dengan malam satu Suro adalah waktu yang mulia, bukan menakutkan. Pandangan Islam tidak mengenal malam yang berbahaya, tetapi mendorong umatnya untuk memperbanyak doa dan amal baik di awal tahun hijriah.