Liputan6.com, Jakarta Setiap tahun, masyarakat Jawa menyambut datangnya Bulan Suro dengan suasana yang berbeda. Ada kekhidmatan, ada juga nuansa mistis yang menyelimuti malam pertama bulan ini. Tidak sedikit yang menjadikannya momen untuk menyepi, menyucikan diri, bahkan menghindari pesta pernikahan dan perjalanan jauh.
Namun, di balik segala ritual yang berkembang di masyarakat, tidak banyak yang tahu asal-usul penamaan Suro serta latar belakang penetapan tanggal 1 Suro sebagai awal tahun Jawa. Penamaan ini berasal dari kata ‘Asyura’ dalam bahasa Arab yang berarti tanggal 10 Muharram—hari yang sakral dalam Islam. Ketika tradisi Islam masuk ke Nusantara, kata ini mengalami proses akulturasi hingga menjadi bagian dari kalender Jawa.
Mengutip artikel berjudul Tradisi Suro dalam Masyarakat Jawa yang tayang di situs resmi UIN Malang, istilah suro yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya Jawa, berasal dari ‘asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh.
Kini, Suro bukan hanya sebuah istilah. Ia menjadi simbol keterpautan antara nilai Islam dan budaya lokal. Banyak ritual yang dilakukan bukan sekadar tradisi, melainkan manifestasi spiritualitas masyarakat Jawa yang percaya pada kesucian waktu dan ruang.
Dari Kalender Hindu ke Kalender Islam-Jawa
Penanggalan Suro tak lahir begitu saja, melainkan hasil integrasi sejarah panjang lintas budaya. Sebelum abad ke-17, masyarakat Jawa masih menggunakan kalender Saka yang berasal dari tradisi Hindu. Namun, saat Islam mulai mengakar di tanah Jawa, muncul kebutuhan untuk menyelaraskan sistem waktu yang berlaku.
Langkah besar datang dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram Islam pada tahun 1633 M. Ia memadukan sistem kalender Hijriah dengan kalender Saka demi menciptakan harmoni antara kelompok santri dan abangan. Satu Suro ditetapkan sebagai awal tahun Jawa sejak Jumat Legi, 8 Juli 1633.
Keputusan ini bukan semata administratif, tetapi strategis. Dengan menyatukan sistem penanggalan, Sultan Agung ingin meredam konflik identitas antara Islam dan tradisi lokal. Maka lahirlah Kalender Jawa Islam, dengan Suro sebagai pembuka tahun yang sarat makna spiritual.
Makna Filosofis Bulan Suro dalam Tradisi Jawa
Bagi masyarakat Jawa, Bulan Suro bukan bulan biasa. Ia adalah waktu yang dianggap paling sakral dalam setahun. Filosofinya kaya akan simbolisme, mulai dari penyucian diri, refleksi spiritual, hingga penghormatan kepada leluhur.
Makna pertama adalah keselarasan mikrokosmos dan makrokosmos—yaitu keselarasan antara manusia dan alam semesta. Ini sebabnya banyak orang memilih menyepi, tapa, atau semedi pada malam 1 Suro. Mereka percaya bahwa malam itu adalah titik temu antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata.
Kedua, Suro dimaknai sebagai waktu penyucian lahir batin. Tradisi seperti kungkum (berendam di mata air keramat), puasa, atau jamasan pusaka menjadi ritual simbolik untuk melepaskan energi negatif. Ketiga, ada pula makna perdamaian sosial, di mana konflik dalam keluarga atau masyarakat sebaiknya diselesaikan sebelum memasuki tahun baru Jawa.
Pada tahun 2025, malam 1 Suro (tahun Jawa 1959) diperingati pada Kamis malam, 26 Juni 2025, karena 1 Suro jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025.
Ritual-Ritual Sakral
Rangkaian tradisi di bulan Suro menunjukkan kekayaan budaya yang masih hidup hingga hari ini. Berikut beberapa di antaranya:
Kirab Pusaka: Diadakan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, pusaka kerajaan seperti keris, tombak, dan kerbau albino diarak mengelilingi keraton untuk keselamatan rakyat.
Tapa Bisu: Ritual berjalan kaki mengelilingi benteng keraton tanpa berbicara, makan, atau minum. Melambangkan pengendalian diri dan introspeksi.
Jamasan Pusaka: Tradisi memandikan benda pusaka dengan air khusus. Selain membersihkan secara fisik, juga dipercaya menetralisir energi negatif.
Labuhan: Pelarungan sesaji ke laut atau gunung sebagai bentuk sedekah pada alam.
Kungkum: Berendam di sumber mata air keramat, biasanya disertai doa dan meditasi.
Setiap tradisi ini sarat makna simbolik. Masyarakat meyakini bahwa dengan menjalani ritual ini, mereka bisa memperoleh berkah, keselamatan, dan kekuatan spiritual untuk menghadapi tahun baru.
Pantangan dan Mitos yang Berkembang
Tak hanya ritual, bulan Suro juga penuh dengan pantangan dan mitos yang masih dipercaya hingga kini. Salah satu larangan paling umum adalah menggelar hajatan seperti pernikahan atau sunatan. Dikhawatirkan, acara penting di bulan ini bisa mendatangkan kesialan.
Banyak juga yang menghindari perjalanan jauh, memulai bisnis, hingga memotong rambut. Mitos ini berakar dari keyakinan bahwa bulan Suro adalah waktu para makhluk gaib lebih aktif, dan keputusan besar di waktu ini bisa berakibat buruk.
Perbedaan Suro dan Muharram: Jangan Salah Kaprah
Meski kerap dianggap sama, sebenarnya ada perbedaan jelas antara Bulan Suro dan Muharram. Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriah, sedangkan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Namun keduanya memang sering kali bertepatan tanggalnya karena asal-muasalnya yang berkaitan.
Secara spiritual, Islam memuliakan Muharram sebagai bulan haram—bulan yang dilarang untuk berperang dan dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, terutama puasa Asyura pada 10 Muharram. Sementara itu, Suro dalam tradisi Jawa lebih menekankan aspek budaya dan ritual-ritual keraton.
Jadi, penting untuk tidak mencampuradukkan keduanya. Muharram adalah momentum ibadah dalam Islam, sementara Suro adalah refleksi budaya dalam masyarakat Jawa. Keduanya bisa saling melengkapi jika dipahami dalam konteks masing-masing.
Pertanyaan Seputar Topik
Apa itu bulan Suro dalam tradisi Jawa?
Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa yang dianggap sakral, penuh makna spiritual dan budaya.
Apakah 1 Suro sama dengan 1 Muharram?
Tidak selalu. Meskipun keduanya kerap berdekatan tanggalnya, Suro adalah bagian dari kalender Jawa, sementara Muharram bagian dari kalender Hijriah.
Mengapa orang Jawa tidak menikah di bulan Suro?
Ada kepercayaan bahwa bulan Suro adalah waktu untuk menyepi dan tidak cocok untuk hajatan besar seperti pernikahan.
Apa makna filosofis dari tapa bisu?
Tapa bisu melambangkan pengendalian diri dan refleksi batin, dijalankan tanpa bicara, makan, minum, atau merokok selama ritual berlangsung.
Bagaimana Islam memandang bulan Muharram?
Islam memuliakan bulan Muharram sebagai salah satu bulan haram, dan menganjurkan puasa sunnah pada 9 dan 10 Muharram.