Liputan6.com, Jakarta Setiap tahunnya, kedatangan malam 1 Suro atau 1 Muharram selalu disambut dengan berbagai tradisi dan kepercayaan, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Malam ini dianggap sakral, penuh dengan aura mistis, dan diyakini sebagai waktu yang tidak biasa untuk melakukan aktivitas tertentu. Salah satu yang kerap dipertanyakan adalah mengenai hukum berhubungan suami istri pada malam tersebut.
Pertanyaan semacam ini mencuat bukan hanya karena alasan kepercayaan budaya, melainkan juga berkaitan dengan panduan agama. Di tengah masyarakat muslim Indonesia yang berpegang pada ajaran fikih sekaligus nilai-nilai lokal, penjelasan mengenai boleh atau tidaknya hubungan intim pada malam 1 Suro menjadi penting untuk diluruskan.
Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap hubungan suami istri di malam yang dianggap sakral ini? Apakah ada larangan khusus, atau hanya sekadar anjuran yang sifatnya kultural? Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber jawabannya secara sistematis melalui perspektif fikih dan tasawuf, serta menelusuri akar tradisi yang menyertainya.
1. Asal-usul Tradisi Malam 1 Suro di Jawa
Malam 1 Suro memiliki makna tersendiri dalam kebudayaan Jawa karena bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam, yang juga dikenal sebagai Tahun Baru Hijriah. Dalam konteks budaya Jawa, malam ini bukan sekadar awal bulan, melainkan simbol dari momen mistis, sunyi, dan penuh kontemplasi.
Dalam kebiasaan masyarakat Jawa, malam ini sering dijadikan waktu untuk melakukan tapa, menyepi, atau ritual spiritual lain demi memperoleh ketenangan batin. Oleh sebab itu, aktivitas yang bersifat fisik, seperti bepergian jauh hingga berhubungan intim, sering dianggap kurang sesuai atau bahkan dihindari.
Pandangan ini tentu memiliki akar budaya yang kuat, namun tidak sepenuhnya bersumber dari ajaran Islam. Karena itu, muncul pertanyaan besar: apakah larangan-larangan ini berlaku secara syar’i, atau sekadar tradisi lokal yang berkembang turun temurun?
2. Pandangan Fikih: Hubungan Suami Istri adalah Mubah
Dari sudut pandang ilmu fikih, hukum asal hubungan suami istri adalah mubah (boleh), selama tidak berada dalam kondisi yang secara eksplisit dilarang oleh syariat. Beberapa larangan tersebut meliputi kondisi haid atau nifas (QS Al-Baqarah: 222), sedang berpuasa (QS Al-Baqarah: 187), serta dalam keadaan ihram haji atau umrah (QS Al-Baqarah: 197).
Penjelasan dari Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj menyatakan bahwa tidak ada dalil kuat yang melarang hubungan intim pada malam 1 Muharram atau malam 1 Suro. Bahkan, kitab Al-Majmu’ secara eksplisit menyatakan bahwa “berhubungan badan hukumnya boleh, dan tidak bisa dimakruhkan tanpa dalil syar’i.”
Dengan kata lain, jika dilakukan di luar waktu-waktu terlarang secara syariat, maka hubungan intim tetap berada dalam koridor mubah, tak diberi pahala namun juga tak berdosa jika dilakukan pada malam 1 Suro.
3. Perspektif Tasawuf: Anjuran Makruh dan Spiritualitas
Berbeda dengan fikih yang berbasis pada hukum eksplisit, tasawuf menekankan aspek batin dan spiritual. Dalam beberapa kitab tasawuf klasik seperti Ihya’ Ulumuddin, Qutul Qulub, hingga Tuhfatul Muhtaj, disebutkan adanya anjuran untuk menghindari hubungan badan di malam awal bulan, pertengahan, dan akhir bulan.
Disebutkan pula bahwa pada malam-malam tertentu seperti 1 Suro, diyakini bahwa setan hadir dalam aktivitas jimak, sehingga disarankan untuk menghindarinya. Namun penting dicatat bahwa statusnya hanyalah makruh, bukan haram, sehingga tidak ada konsekuensi dosa secara syar’i bila tetap dilakukan.
Pandangan ini lebih mengarah pada imbauan untuk menjaga suasana batin dan memperbanyak ibadah di malam-malam yang dianggap mulia. Oleh karena itu, makruhnya aktivitas tersebut lebih ditujukan sebagai bentuk adab dan penghormatan terhadap waktu-waktu yang dipandang sakral.
4. Kombinasi Budaya dan Syariat: Salah Kaprah yang Perlu Diluruskan
Sebagian masyarakat masih mencampurkan antara nilai budaya dengan hukum agama, sehingga kerap kali menjadikan larangan kultural seolah-olah memiliki dasar agama. Padahal, dalam konteks malam 1 Suro, tidak ada dalil yang mengharamkan hubungan intim, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis Shahih.
Kepercayaan bahwa hubungan suami istri di malam 1 Suro membawa sial atau petaka berasal dari mitos dan konstruksi sosial dalam budaya lokal. Dalam Islam, tidak ada istilah “hari sial” karena semua waktu adalah ciptaan Allah dan tidak ada satu malam pun yang membawa celaka secara inheren.
Meskipun demikian, jika pasangan suami istri memilih untuk tidak berhubungan karena ingin memperbanyak ibadah atau mengikuti nilai-nilai budaya secara sukarela, hal tersebut sah-sah saja dilakukan selama tidak menyalahkan syariat sebagai dasar larangan.
Pertanyaan dan Jawaban Populer (berdasarkan Google Suggest & FAQ)
Q: Apakah berhubungan intim di malam 1 Suro dilarang dalam Islam?
A: Tidak. Tidak ada dalil dalam Al-Qur’an maupun hadis yang melarang hubungan intim di malam 1 Suro, kecuali dalam kondisi yang dilarang seperti haid, puasa, atau ihram.
Q: Mengapa malam 1 Suro dianggap tidak baik untuk berhubungan intim?
A: Anggapan tersebut berasal dari budaya Jawa dan beberapa ajaran tasawuf yang menyarankan memperbanyak ibadah dan menjauhi hubungan badan di malam-malam tertentu.
Q: Apa hukum hubungan suami istri di malam awal bulan dalam pandangan tasawuf?
A: Dalam tasawuf, hubungan intim di malam awal bulan dikategorikan makruh, bukan haram. Artinya, tidak dianjurkan tapi tidak berdosa jika dilakukan.
Q: Apakah ada waktu-waktu terbaik menurut Islam untuk berhubungan suami istri?
A: Islam tidak menetapkan waktu khusus sebagai yang “terbaik” untuk hubungan intim, namun menyarankan doa sebelum melakukannya agar terhindar dari gangguan setan.