Liputan6.com, Jakarta Hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram menjadi momen penting bagi umat Islam untuk memperbanyak amalan sunnah. Salah satu amalan yang dianjurkan selain berpuasa adalah melaksanakan mandi besar dengan membaca niat mandi puasa Asyura terlebih dahulu.
Mandi Asyura bukanlah sekadar membasahi tubuh seperti mandi biasa. Dalam pelaksanaannya, mandi ini memerlukan niat mandi puasa Asyura dan tata cara khusus yang disesuaikan dengan kondisi setiap individu, seperti dalam keadaan junub, haid, atau nifas. Banyak umat Muslim yang masih belum memahami secara mendalam mengenai teknis dan bacaan niat mandi puasa Asyura ini, sehingga penting untuk diluruskan agar tidak keliru dalam pelaksanaannya.
1. Keutamaan dan Waktu Pelaksanaan Mandi Asyura
Mandi Asyura adalah salah satu amalan sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan pada tanggal 10 Muharram, sebagai bentuk penyucian diri menjelang ibadah puasa. Mengutip dari nu.or.id, dalam kitab Kanzun Naja was Surur, Syekh Abdul Hamid menyebutkan bahwa mandi pada hari Asyura termasuk di antara 12 amalan yang dianjurkan.
فِى يوْمِ عَاشُوْرَاءَ عَشْرٌ تَتَّصِلْ * بِهَا اثْنَتَانِ وَلهَاَ فَضْلٌ نُقِلْ
صُمْ صَلِّ صَلْ زُرْ عَالمِاً عُدْ وَاكْتَحِلْ * رَأْسُ الْيَتِيْمِ امْسَحْ تَصَدَّقْ وَاغْتَسِلْ
وَسِّعْ عَلَى اْلعِيَالِ قَلِّمْ ظُفْرَا * وَسُوْرَةَ الْاِخْلاَصِ قُلْ اَلْفَ تَصِلْ
Artinya: Ada sepuluh amalan di dalam bulan Asyura, yang ditambah lagi dua amalan lebih sempurna. Puasalah, shalatlah, sambung silaturahim, ziarah orang alim, menjenguk orang sakit dan celak mata. Usaplah kepala anak yatim, bersedekah, dan mandi, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlas 1000 kali.
Para ulama mengaitkan keutamaan mandi Asyura dengan hikmah kesehatan dan kebersihan, bahkan disebutkan bahwa barang siapa mandi pada hari Asyura, maka ia tidak akan terkena penyakit selama setahun (dalam riwayat populer, meski sanadnya lemah, tetap menjadi anjuran kebaikan). Oleh karena itu, momentum 10 Muharram dijadikan sebagai sarana pembersihan lahir dan batin.
2. Niat Mandi Puasa Asyura Berdasarkan Kondisi Seseorang
Niat adalah bagian paling mendasar dalam membedakan antara mandi biasa dan mandi yang bersifat ibadah. Dalam konteks mandi Asyura, niat dilakukan tergantung dari keadaan seseorang: apakah dalam kondisi junub, haid, nifas, atau sekadar ingin menyucikan diri dari hadas besar.
Bagi pria atau wanita yang dalam keadaan junub, bacaan niat yang dibaca adalah:
نَوَيْتُ الغُسْلَ لِرَفْعِ الجِنَابَةِ
Latin: Nawaitul ghusla li raf’il janâbati
Artinya: Saya berniat mandi untuk menghilangkan junub.
Untuk wanita yang baru selesai haid atau nifas, niatnya sedikit berbeda:
نَوَيْتُ الغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَيْضِ atau لِرَفْعِ النِّفَاسِ
Latin: Nawaitul ghusla li raf’il haidhi / li raf’in nifâsi
Artinya: Saya berniat mandi untuk menghilangkan haid / nifas.
Jika seseorang ingin membaca niat umum untuk semua kondisi hadas besar, maka dapat menggunakan:
نَوَيْتُ الغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ
Latin: Nawaitul ghusla li raf’il hadatsil akbari
Artinya: Saya berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar.
3. Tata Cara Mandi Asyura Sesuai Tuntunan Sunnah
Tata cara mandi Asyura sejatinya merujuk pada tata cara mandi wajib (mandi junub) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Mengutip dari muslim.or.id, terdapat dua hadits yang menjelaskan bagaimana tata cara mandi wajib:
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan bahwa kedua tata cara mandi wajib yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah sama-sama boleh digunakan.
4. Perlukah Wudhu Setelah Mandi Wajib?
Ada pertanyaan yang sering muncul setelah seseorang melakukan mandi wajib: apakah masih perlu berwudhu kembali sebelum melaksanakan salat? Jawaban atas pertanyaan ini telah dibahas secara tegas dalam beberapa riwayat shahih, yang menunjukkan bahwa wudhu tidak perlu diulang setelah mandi wajib, karena mandi itu sendiri telah mencakup semua syarat sahnya wudhu.
Dalam sebuah hadits shahih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, disebutkan bahwa ia berkata,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Ahmad).
Dalam kitab Ad Daroril Mudhiyah, hal serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf).
Para ulama seperti Abu Bakr Ibnul ‘Arobi dan Ibnu Baththol bahkan menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Mereka menegaskan bahwa tidak disyaratkan untuk berwudhu lagi setelah mandi wajib, karena secara hukum, mandi wajib sudah mencakup semua syarat sahnya wudhu. Ini berlaku selama tidak ada hal lain yang membatalkan wudhu setelah mandi, dan mandi dilakukan dengan tata cara yang sesuai sunnah, termasuk niat.
People Also Ask
Q: Apakah mandi Asyura wajib dilakukan sebelum puasa?
A: Tidak wajib, namun sunnah dilakukan sebagai bentuk penyucian diri menjelang puasa Asyura.
Q: Apakah boleh mandi Asyura dilakukan setelah salat subuh?
A: Boleh, karena tujuan utamanya adalah menyucikan diri sebelum ibadah puasa dimulai. Idealnya dilakukan sebelum fajar.
Q: Apakah harus berwudhu lagi setelah mandi Asyura?
A: Tidak perlu, karena wudhu sudah termasuk dalam rangkaian mandi wajib apabila dilakukan sempurna.
Q: Bolehkah mandi Asyura digabung dengan mandi karena haid atau junub?
A: Boleh. Cukup satu niat untuk mandi wajib dengan menyebutkan niat penghilang hadats besar secara umum.
Q: Bolehkah niat mandi hanya dalam hati?
A: Ya, karena niat termasuk dalam amalan hati dan tidak wajib dilafalkan secara lisan.