Pantangan Bulan Suro, Tradisi yang Masih Dipegang Teguh hingga Kini

6 days ago 19

Liputan6.com, Jakarta Bulan Suro dalam kalender Jawa dikenal sebagai waktu yang sakral dan penuh makna spiritual. Masyarakat Jawa meyakini adanya pantangan bulan Suro yang harus dihormati demi menjaga ketenangan dan keselamatan. 

Beberapa pantangan bulan Suro yang umum dijalankan antara lain menghindari pernikahan, pindah rumah, atau menggelar hajatan besar. Larangan ini dipercaya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan waktu untuk introspeksi.

Hingga kini, banyak orang tetap mematuhi pantangan bulan Suro sebagai bagian dari tradisi dan nilai budaya. Meski hidup di zaman modern, maknanya tetap relevan sebagai simbol kehati-hatian dan keseimbangan hidup.

Berikut Liputan6.com merangkum dari berbagai sumber tentang pantangan bulan suro, Rabu (25/6/2025).

Suro merupakan bulan yang dikeramatkan oleh orang Jawa.

Pengertian Bulan Suro

Mengutip kajian yang dipublikasikan di LEKSIKON: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, & Budaya | Volume 2, Nomor 1, April 2024, antara Muharram dan Suro (yang sebenarnya merujuk pada hari 'Asyura) sering kali dianggap serupa oleh masyarakat Jawa, padahal keduanya memiliki makna dan peristiwa yang berbeda. Meskipun sering diidentikkan, ritual yang dilakukan dalam memperingati keduanya sangat berbeda, sehingga sebenarnya keduanya mengarah pada dua pemahaman yang berbeda dalam satu konteks spiritual.

Muharram adalah bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriah, dan oleh Sultan Agung diadaptasi ke dalam penanggalan Jawa sebagai Bulan Suro. Dalam budaya Jawa, Bulan Suro bukan hanya menjadi awal tahun, tetapi juga dipenuhi nilai-nilai sakral, sehingga muncul berbagai pantangan bulan Suro yang dipercaya harus ditaati agar tidak mengundang musibah atau ketidakseimbangan dalam kehidupan.

Menurut Kiswo (2022) sebagaimana dikutip dalam kajian yang dipublikasikan di situs Raden Intan Repository, suro merupakan sebutan bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari bahasa arab asyura, yang berarti sepuluh, yakni hari ke-10 bulan Muharram. Asyura, dalam lidah Jawa menjadi “Suro”. Jadilah kata “Suro“ sebagai khazanah Islam-Jawa asli sebagai nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa.

Mengutip buku berjudul Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mengartikan Malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulannya penuh rahmat. Ketika malam itu, beberapa orang Jawa Islam percaya, mendekatkan diri kepada Tuhan bisa dengan cara membersihkan diri serta melawan nafsu manusiawinya. Oleh karena itu, mereka menjalankan upacara individu seperti tirakat, lelaku, atau perenungan diri. Selain itu, ada juga aktivitas upacara kelompok seperti melakukan selametan khusus sepanjang satu minggu.

Pantangan Bulan Suro Paling Umum

Salah satu pantangan bulan suro yang paling umum adalah menghindari menggelar hajatan seperti pernikahan atau khitanan. Kepercayaan ini didasari oleh keyakinan bahwa mengadakan pesta besar di bulan Suro dapat mendatangkan kesialan bagi yang bersangkutan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa energi mistis pada bulan ini kurang baik untuk acara yang bersifat kebahagiaan.

Menurut Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat (1965) sebagaimana dikutip dalam kajian yang dipublikasikan di Jurnal Penelitian dan Kebudayaan Islam Vol. 22 No. 2 (July-December 2024)207, bagi masyarakat Jawa, menikah di bulan Muharram itu harus dihindari. Bulan ini dipercaya sebagai bulan keramat sehingga jangan sampai melanggar untuk menggelar hajatan apalagi perkawinan.

Jika larangan ini dilanggar, masyarakat percaya akan datang malapetaka atau musibah bagi pasangan yang melanggar perkawinan serta kedua keluarga besar mereka. Mereka meyakini bahwa menikah di bulan Muharram atau yang mereka kenal dengan bulan sura ”aja diterak sasi ala kanggo ijab ing penganten sering tukar padu, nemu kerusakan” yang artinya jangan tetap dilakukan bulan buruk untuk akad pengantin sering bertengkar, dan menemukan kerusakan.

Menurut Astuti (2017) masih dari sumber yang sama, larangan menikah bulan Muharram adalah larangan yang dipatuhi, dihargai, diketahui, difahami dan dimengerti oleh orang Jawa, sehingga aturan ini termasuk dalam norma atau aturan adat istiadat yang mengatur kehidupan mereka, adat ini telah turun temurun dari nenek moyang mereka sejak jaman dahulu.

Menurut Muhammad Solikhin dalam buku “Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), sakralitas dalam memperingati malam satu Suro memiliki kaitan dengan budaya keraton. Pada zaman dahulu, keraton sering melakukan upacara dan ritual yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Konon, pada malam ini energi alam semesta mengalami perubahan, dan banyak masyarakat Jawa yang meyakini bahwa malam Satu Suro memiliki kekuatan mistis.

Bulan Muharram dalam Perspektif Islam

Penjelasan menganai bulan Muharram atau bulan Sura sebagai bulan yangmulia sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini.

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranyaempat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlahkamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (Q.S.9:36)."

Imam al-Tabari berkata, “Bulan itu ada dua belas, empat di antaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu meng-agungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang mem-bunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan yang empat ituadalah Rajab, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Mu-harram. Dengan ini nyatalah kabar yang disabdakan oleh Rasulullah“.

Kemudian, al-Tabari meriwayatkan beberapa hadis, di antaranya hadis darisahabat Abu Bakrah, yang diriwayatkan Imam Bukhari (No. 4662), Rasulullahbersabda,“Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaanketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulanpada sisi Allah ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan haram,pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) danSya’ban, kemudian Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram” (Jami’ al-Bayan 10/124-125).

Q & A

1. Apa itu pantangan bulan Suro?

Pantangan bulan Suro adalah serangkaian larangan atau hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan oleh masyarakat Jawa selama Bulan Suro, bulan pertama dalam kalender Jawa. Pantangan ini berakar dari kepercayaan budaya dan spiritual yang meyakini bahwa Bulan Suro adalah waktu sakral untuk introspeksi, bukan untuk kegiatan bersifat hura-hura atau seremonial besar.

2. Apa saja contoh pantangan bulan Suro yang masih dipercaya masyarakat?

Beberapa pantangan bulan Suro yang umum dikenal adalah menghindari pernikahan, pindah rumah, membangun rumah, atau melakukan pesta besar. Masyarakat juga biasanya tidak menggelar hajatan seperti khitanan atau syukuran karena diyakini dapat mengundang kesialan atau gangguan spiritual.

3. Apa alasan di balik munculnya pantangan bulan Suro?

Pantangan bulan Suro muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan waktu yang dianggap keramat. Bulan ini diyakini sebagai masa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, melakukan tapa batin, dan menjauh dari kesenangan duniawi. Dalam sudut pandang budaya Jawa, hal ini bertujuan menjaga keseimbangan lahir dan batin masyarakat.

4. Apakah pantangan bulan Suro harus selalu dipatuhi?

Pantangan bulan Suro bersifat kepercayaan budaya, bukan kewajiban agama. Bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi, pantangan ini dianggap penting dan dijalankan secara turun-temurun. Namun, bagi sebagian orang, pantangan ini bisa dianggap simbolis atau dijalankan secara fleksibel sesuai dengan keyakinan masing-masing.

5. Apakah anak muda perlu mengenal pantangan bulan Suro?

Tentu saja. Mengenal pantangan bulan Suro adalah bagian dari memahami akar budaya sendiri. Meskipun tidak semua orang harus mematuhi secara kaku, mengetahui makna di balik pantangan ini dapat menumbuhkan rasa hormat terhadap tradisi, serta memperkuat identitas budaya dalam kehidupan modern.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|