Liputan6.com, Jakarta Lebaran atau Idul Fitri, hari kemenangan bagi umat Muslim di Indonesia, selalu dirayakan dengan penuh suka cita. Namun, perayaan Lebaran tempo dulu menyimpan pesona tersendiri, jauh berbeda dengan kemeriahan modern saat ini. Tradisi-tradisi yang sarat makna religius dan kultural kini perlahan memudar tergerus zaman. Artikel ini mengajak Anda bernostalgia, mengenang kembali keindahan dan nilai-nilai luhur dari 10 tradisi Lebaran tempo dulu yang sayang untuk dilupakan.
Perubahan zaman dan kemajuan teknologi memang tak terelakkan. Komunikasi instan, akses informasi yang mudah, dan gaya hidup modern telah mengubah cara kita merayakan Lebaran. Namun, esensi dari Lebaran—silaturahmi, saling memaafkan, dan mempererat hubungan—tetaplah penting. Tradisi-tradisi lama, meskipun bentuknya mungkin berubah, tetap bisa diadaptasi dan dimaknai dalam konteks kehidupan modern.
Melalui artikel ini, kita akan menjelajahi kembali memori indah perayaan Idul Fitri di masa lalu. Semoga dengan mengingat kembali tradisi-tradisi tersebut, kita dapat mengambil hikmah dan nilai-nilai positifnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita lestarikan esensi tradisi Lebaran, warisan budaya leluhur yang begitu berharga.
Berikut adalah sejumlah tradisi lebaran tempo dulu yang biking kangen, sebagaimana telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (26/2/2025).
Halal Bihalal bukan merupakan tradisi Islam melainkan tradisi bangsa Indonesia sehingga kegiatan bermaaf-maafan yang satu ini hanya ada di Indonesia.
1. Ziarah Kubur, Mengenang dan Mendoakan Leluhur
Ziarah kubur atau nyekar, tradisi mengunjungi makam keluarga dan kerabat yang telah meninggal, merupakan bagian tak terpisahkan dari Lebaran tempo dulu. Biasanya dilakukan menjelang atau setelah shalat Idul Fitri. Keluarga akan membersihkan makam, menaburkan bunga, dan berdoa bersama, mendoakan para leluhur agar mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
Prosesi ini sarat makna spiritual. Ziarah kubur mengingatkan kita akan singkatnya umur dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Selain itu, tradisi ini juga mempererat ikatan keluarga dan menghormati jasa-jasa leluhur. Namun, seiring perubahan gaya hidup, tradisi ini mulai ditinggalkan, banyak yang lebih memilih menghabiskan waktu Lebaran dengan aktivitas lain.
Meski demikian, kita masih bisa mempertahankan tradisi ini dengan cara yang lebih modern. Kunjungan ke makam bisa dijadwalkan bersama keluarga, dipadukan dengan kegiatan berdoa dan bercerita tentang leluhur. Dokumentasikan kunjungan tersebut sebagai kenangan berharga bagi generasi selanjutnya.
Dengan demikian, ziarah kubur tetap bisa menjadi momen refleksi diri dan mempererat hubungan keluarga, meski dalam bentuk yang lebih disesuaikan dengan zaman.
2. Kartu Ucapan Lebaran Tulisan Tangan
Sebelum era digital, mengirim kartu ucapan Lebaran merupakan tradisi yang dinantikan. Setiap keluarga menyiapkan kartu dengan desain indah, menulis ucapan selamat dan permohonan maaf dengan tangan, lalu mengirimkannya melalui pos ke sanak saudara dan teman.
Memilih kartu, menulis pesan dengan hati-hati, dan mengirimkannya jauh-jauh hari merupakan proses yang penuh kehangatan. Menerima kartu dari tukang pos pun menjadi momen bahagia tersendiri. Pesan-pesan yang ditulis dengan tangan terasa lebih personal dan tulus.
Kini, pesan digital telah menggantikan kartu ucapan fisik. Namun, nilai ketulusan dan kehangatan dalam kartu tulisan tangan tetap tak tergantikan. Cobalah untuk menulis kartu ucapan Lebaran secara manual, minimal untuk kerabat terdekat, untuk merasakan kembali kehangatan tradisi ini.
Meskipun praktis, pesan digital tidak mampu menggantikan sepenuhnya kehangatan dan sentuhan personal yang ada dalam kartu ucapan tulisan tangan.
3. Mengenakan Pakaian Adat saat Silaturahmi
Mengenakan pakaian adat saat Lebaran merupakan tradisi yang memperlihatkan kekayaan budaya Indonesia. Setiap daerah memiliki pakaian adat khas yang dikenakan dengan bangga saat Idul Fitri. Persiapannya pun khusus, dipilih dengan cermat untuk menampilkan keindahan budaya lokal.
Warna-warni cerah dari berbagai pakaian adat menciptakan suasana meriah dan bermartabat. Tradisi ini juga menjadi cara memperkenalkan kekayaan budaya kepada generasi muda. Baju Kurung, Kebaya, Batik, dan berbagai pakaian adat lainnya menjadi bukti keanekaragaman budaya Indonesia.
Namun, pengaruh fashion modern membuat pakaian adat semakin jarang digunakan. Banyak yang lebih memilih pakaian modern karena dianggap lebih praktis. Meskipun demikian, kita dapat tetap melestarikan tradisi ini dengan mengenakan pakaian adat dalam acara-acara tertentu selama Lebaran.
Dengan mengenakan pakaian adat, kita turut melestarikan warisan budaya leluhur dan menunjukkan rasa bangga terhadap kekayaan budaya Indonesia.
4. Pertunjukan Wayang Kulit di Malam Takbiran
Pertunjukan wayang kulit merupakan hiburan khas Lebaran tempo dulu. Di malam takbiran, suara gamelan mengiringi cerita pewayangan yang sarat nilai moral dan pembelajaran hidup. Persiapannya melibatkan banyak pihak, dari dalang hingga penyiapan gamelan dan layar.
Pertunjukan biasanya berlangsung semalam suntuk, warga berkumpul di atas tikar, menikmati cerita sambil berbincang dan menikmati hidangan. Suasana penuh kebersamaan dan keakraban. Anak-anak pun turut larut dalam cerita wayang yang penuh keajaiban.
Namun, perkembangan teknologi dan hiburan modern telah menggeser minat masyarakat terhadap wayang kulit. Generasi muda lebih tertarik pada hiburan kontemporer. Meskipun demikian, upaya pelestarian wayang kulit tetap perlu dilakukan agar tradisi ini tidak hilang.
Kita bisa mendukung pertunjukan wayang kulit dengan turut menyaksikannya, atau mengenalkan wayang kepada generasi muda melalui berbagai media modern.
5. Menyambut Tamu Tanpa Pemberitahuan
Rumah selalu terbuka lebar untuk tamu yang datang tanpa pemberitahuan, merupakan ciri khas keramahan di Lebaran tempo dulu. Hidangan selalu tersedia berlimpah untuk menyambut tamu tak terduga, menunjukkan kedermawanan dan kehangatan.
Suasana rumah saat menyambut tamu penuh kehangatan dan keakraban. Obrolan mengalir natural, dari hal ringan hingga diskusi serius tentang kehidupan. Tamu diperlakukan sama ramahnya, tanpa sekat formalitas.
Kini, gaya hidup individualis dan kebutuhan privasi membuat tradisi ini mulai bergeser. Kunjungan mendadak sering dianggap mengganggu. Namun, nilai keramahan dan keterbukaan dalam tradisi ini tetap perlu dijaga.
Kita bisa tetap menerapkan nilai keramahan dengan menyambut tamu dengan hangat, meskipun kunjungan sudah dijadwalkan terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa keramahan tetap menjadi nilai penting dalam kehidupan.
6. Memasak Hidangan Lebaran Secara Gotong Royong
Memasak bersama keluarga berhari-hari sebelum Lebaran merupakan tradisi yang mempererat ikatan keluarga. Seluruh anggota keluarga terlibat, dari menganyam ketupat hingga memasak rendang dan opor.
Suasana dapur yang hidup dan penuh kehangatan. Aroma rempah-rempah menciptakan sensasi Lebaran yang khas. Setiap hidangan memiliki filosofi dan makna tersendiri dalam tradisi Lebaran.
Kini, banyak yang lebih memilih membeli makanan jadi atau menggunakan jasa katering karena kesibukan dan kurangnya waktu. Namun, kita dapat tetap mempertahankan tradisi memasak bersama, minimal untuk beberapa hidangan khas Lebaran.
Memasak bersama keluarga tidak hanya menghasilkan hidangan lezat, tetapi juga mempererat ikatan keluarga dan menciptakan kenangan indah yang tak terlupakan.
7. Lepet dan Ketupat sebagai Simbol Permohonan Maaf
Lepet dan ketupat memiliki posisi istimewa dalam tradisi Lebaran tempo dulu. Lepet, yang bermakna "yen salah ngaku lepat" (jika salah mengaku salah) menjadi simbol permohonan maaf.
Proses pembuatannya membutuhkan keterampilan dan kesabaran. Bentuk ketupat yang dianyam rapat melambangkan hati yang tertutup, yang kemudian terbuka saat dibelah, melambangkan keterbukaan hati untuk saling memaafkan.
Namun, pemahaman nilai filosofis di balik makanan Lebaran mulai memudar. Banyak yang membeli ketupat dan lepet jadi. Meskipun demikian, kita dapat tetap mengajarkan makna filosofis ini kepada generasi muda.
Dengan memahami makna lepet dan ketupat, kita dapat lebih merenungkan arti permohonan maaf dan saling memaafkan selama Lebaran.
8. Tadarusan dan Malam Likuran (Lailatul Qadr)
Membaca Al-Qur'an secara intensif selama Ramadhan hingga khatam merupakan tradisi yang kental nuansa religiusnya. Kegiatan khusus dilakukan pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan (malam likuran).
Suasana religius di surau, mushola, dan masjid sangat terasa. Masyarakat berlomba-lomba mencari pahala dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semangat beribadah sangat tinggi.
Tradisi ini tetap bisa diadaptasi di era modern. Kita dapat mengikuti tadarus online atau di masjid terdekat. Menjadikan bulan Ramadhan sebagai momen untuk meningkatkan kualitas ibadah.
Dengan demikian, tradisi tadarus dan malam likuran tetap dapat dijalankan meskipun dengan cara yang lebih modern dan sesuai dengan perkembangan zaman.
9. Bersih-Bersih Rumah dan Lingkungan bersama Keluarga
Pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam membersihkan rumah dan lingkungan merupakan tradisi yang mengajarkan gotong royong. Laki-laki membersihkan bagian luar, perempuan bagian dalam.
Kegiatan ini tidak hanya membersihkan fisik, tetapi juga membersihkan diri secara spiritual. Suasana gotong royong dan kebersamaan sangat terasa. Semua anggota keluarga terlibat.
Kehidupan modern yang sibuk membuat tradisi ini mulai bergeser. Namun, kita bisa tetap menerapkan nilai gotong royong dengan mengajak keluarga membersihkan rumah bersama.
Membersihkan rumah bersama keluarga tidak hanya menciptakan lingkungan bersih, tetapi juga mempererat hubungan dan mengajarkan nilai-nilai kebersamaan.
10. Tradisi Nyekar dan Nyorog Masyarakat Betawi
Tradisi nyekar (mengunjungi makam) dan nyorog (memberikan makanan ke tetangga dan kerabat) merupakan tradisi khas Betawi. Nyekar dilakukan untuk mendoakan leluhur, nyorog untuk mempererat silaturahmi.
Persiapan khusus dilakukan masyarakat Betawi menyambut Lebaran. Makanan khas Betawi disiapkan untuk disajikan kepada tamu dan kerabat. Nilai sosial dan religius sangat kental dalam tradisi ini.
Meskipun sebagian tradisi ini masih dijalankan, perubahan gaya hidup modern sedikit banyak memengaruhi intensitasnya. Namun, esensi dari kedua tradisi ini tetap dapat dipertahankan.
Dengan tetap menjalankan tradisi nyekar dan nyorog, kita dapat melestarikan budaya Betawi dan mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Tradisi Lebaran tempo dulu menyimpan banyak kenangan indah dan nilai-nilai luhur. Meskipun banyak yang mulai ditinggalkan, esensi dari perayaan Lebaran—silaturahmi dan mempererat hubungan—tetap lestari. Mari kita lestarikan nilai-nilai positif tersebut dan adaptasikan dengan konteks modern. Bagikan pengalaman tradisi Lebaran tempo dulu kepada generasi muda agar warisan budaya kita tetap terjaga.