Liputan6.com, Jakarta Sayur lodeh bukan hanya sekadar makanan rumahan yang nikmat disantap bersama nasi hangat. Di balik kuah santannya yang gurih dan aneka sayuran yang menyegarkan, tersimpan warisan budaya, simbol ketahanan, dan doa masyarakat Jawa untuk menghindari marabahaya. Makanan ini sering hadir dalam ritual-ritual kejawen sebagai slametan, atau bentuk tolak bala saat menghadapi wabah dan bencana alam.
Dalam tradisi masyarakat Yogyakarta, misalnya, sayur lodeh telah menjadi bagian dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, ketika pandemi COVID-19 merebak, pesan berantai WhatsApp yang menyerukan memasak sayur lodeh beredar luas. Meskipun tak diketahui secara pasti berasal dari Sultan atau bukan. Namun antusiasme warga tetap tinggi. Mereka percaya bahwa ritual memasak sayur lodeh akan menghadirkan keselamatan dan ketenteraman batin.
Cerita tentang sayur lodeh telah tercatat dalam sejarah sejak abad ke-10, saat masyarakat Jawa menghadapi letusan Gunung Merapi. Kala itu, tujuh jenis sayuran dalam sayur lodeh diyakini sebagai bentuk ikhtiar spiritual untuk bertahan hidup. Hingga kini, kepercayaan tersebut masih tumbuh subur di berbagai lapisan masyarakat. Berikut resep sayur lodeh dan ulasan tentang filosofinya, dirangkum Liputan6.com, Kamis (17/7/2025).
Resep Sayur Lodeh
Salah satu variasi lezat dari sayur lodeh adalah yang menggunakan kacang merah. Resep berikut diambil dari buku Lezatnya Variasi Sayur Lodeh karya Indriani (2010), cocok untuk Anda yang ingin mencoba sajian klasik dengan sedikit sentuhan modern:
Bahan-Bahan:
- 250 gram kentang, iris tipis bentuk korek api
- 125 gram kacang panjang, potong sepanjang 5 cm
- 125 gram kacang merah, rebus setengah matang
- 125 gram wortel, iris bulat
- 2 buah belimbing wuluh, iris bulat
- 1 sdm ebi, sangrai dan haluskan
- 1800 ml santan dari 1 butir kelapa
- 2 cm lengkuas, memarkan
- 3 lembar daun salam
- 1 batang serai, ambil bagian putihnya, memarkan
- 3 sdt garam
- 1 sdt gula pasir
- 2 sdm minyak sayur untuk menumis
Bumbu Halus:
- 6 siung bawang putih
- 8 buah bawang merah
- 3 butir kemiri, sangrai
- 6 buah cabai merah keriting
- 2 buah cabai merah besar
- 3 cm kunyit, dibakar
Cara Membuat:
- Panaskan minyak, tumis bumbu halus bersama lengkuas, daun salam, dan serai hingga harum.
- Tambahkan santan dan ebi, masak hingga mendidih.
- Masukkan kentang dan wortel, masak hingga setengah matang.
- Tambahkan kacang panjang, kacang merah, belimbing wuluh, garam, dan gula pasir. Aduk perlahan hingga sayur matang sempurna.
- Angkat dan sajikan dengan nasi putih hangat.
Sayur Lodeh sebagai Makanan Penolak Bala
Dalam tradisi Jawa, sayur lodeh dipercaya sebagai makanan penolak bala. Hal ini tercermin dari kebiasaan memasak sayur lodeh dengan tujuh jenis sayuran utama: terong, kacang panjang, kluwih, kulit melinjo, daun melinjo (godong so), waluh, dan tempe. Setiap bahan bukan sekadar sayuran, tetapi sarat makna filosofis.
Seperti dikutip dari buku Ragam Ulas Kebencanaan (2020) oleh Koentjoro Soeparno dkk dan laman Jogja Belajar Budaya:
- Kluwih melambangkan perhatian dan nasihat dalam keluarga.
- Kacang panjang (cang gleyor) mengajarkan pentingnya membatasi aktivitas di luar rumah.
- Terong menjadi simbol ibadah yang rutin, bukan sekadar insidental.
- Kulit melinjo menandakan perlunya introspeksi diri.
- Waluh mengajak untuk mengurangi keluhan dan lebih banyak bersyukur.
- Godong so menyerukan pentingnya ilmu dan kebersamaan dengan orang saleh.
- Tempe adalah simbol keteguhan, kesabaran, dan tawakal kepada Tuhan.
Menurut laporan bbc.com oleh Scott Anthony (A Javanese dish to banish the plague), sayur lodeh pernah digunakan dalam strategi mengatasi wabah pes pada tahun 1931. Sultan Hamengkubuwono VIII memerintahkan warga memasak sayur lodeh dan tidak keluar rumah selama 49 hari, dan wabah pun mereda. Hal ini menunjukkan kekuatan solidaritas sosial dalam mengatasi krisis.
Dari sisi ilmiah, beberapa bahan dalam sayur lodeh terbukti memiliki manfaat kesehatan. Seperti galangal (lengkuas) yang memiliki sifat anti-inflamasi, belimbing wuluh yang kaya antioksidan, dan tempe sebagai sumber protein nabati yang tinggi. Makanan ini juga rendah lemak dan menggunakan bahan-bahan musiman yang mudah didapat, menjadikannya pilihan ideal selama masa karantina.
Sayur lodeh menjadi representasi dari slametan, ritual bersama untuk menciptakan harmoni sosial dan spiritual. Antropolog Clifford Geertz mencatat bahwa slametan adalah bentuk “doa kolektif” yang dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan menghindari bencana.
FAQ Seputar Sayur Lodeh
1. Apakah sayur lodeh hanya populer di Jawa?
Tidak. Meskipun berasal dari Jawa, sayur lodeh kini dikenal luas di seluruh Indonesia dan bahkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, dengan variasi bahan dan warna kuah.
2. Mengapa harus tujuh jenis sayuran dalam sayur lodeh penolak bala?
Angka tujuh dalam kepercayaan Jawa melambangkan kesempurnaan dan harmoni. Setiap bahan juga membawa makna simbolis sebagai pengingat nilai-nilai spiritual dan sosial.
3. Apakah ada bukti ilmiah bahwa sayur lodeh bisa menolak bala?
Secara ilmiah, tidak ada makanan yang bisa menolak bala secara langsung. Namun, sayur lodeh mengandung banyak bahan bergizi dan antioksidan yang baik untuk daya tahan tubuh. Dari sisi budaya, nilai solidaritas dan ritual dalam memasak bersama diyakini membawa ketenangan batin dan ketahanan sosial.
4. Apa perbedaan sayur lodeh putih dan kuning?
Sayur lodeh putih tidak menggunakan kunyit sehingga kuahnya lebih pucat, sedangkan lodeh kuning menggunakan kunyit yang memberi warna dan aroma khas. Keduanya sama-sama lezat, tergantung selera dan tradisi daerah.
5. Apakah sayur lodeh cocok untuk vegetarian?
Ya, selama tidak menggunakan ebi atau bahan hewani lainnya, sayur lodeh sangat cocok untuk vegetarian karena hanya terdiri dari berbagai jenis sayuran dan santan.
Sumber Rujukan:
- Indriani. Lezatnya Variasi Sayur Lodeh. Jakarta: Pustaka Widyatama, 2010.
- Koentjoro Soeparno, dkk. Ragam Ulas Kebencanaan. Yogyakarta: Balai Tekkomdik DIY, 2020.
- Anthony, Scott. “A Javanese dish to banish the plague.” BBC.com, 2021. https://www.bbc.com/travel/article/20210519-a-javanese-dish-to-banish-the-plague
- Clifford Geertz. The Religion of Java. Free Press, 1960.