Di balik popularitasnya yang melesat, tren Italian Brainrot juga menuai berbagai kontroversi dan kritik tajam. Di satu sisi, meme-meme absurd seperti Bombardiro Crocodilo, bum bum bini Guisni, dan Tralellero Trallala mengundang gelak tawa dan kreativitas di kalangan pengguna muda. Namun di sisi lain, tren ini dianggap bermasalah karena mempermainkan stereotip budaya Italia dan berpotensi berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Beberapa pihak, seperti Joe Carrozzo, konten kreator keturunan Italia-Australia, secara terbuka menyuarakan kekecewaannya terhadap tren ini. Carrozzo mengkritik penggunaan elemen bahasa Italia yang asal-asalan dan penggambaran stereotip yang menurutnya mencoreng citra budaya Italia. “Kami tidak berbicara seperti itu! Ini mengejek bangsa kami dengan meniru bahasa dan budaya secara serampangan,” tegasnya. Bagi banyak orang keturunan Italia, tren ini bukan sekadar lelucon konyol, melainkan bentuk representasi yang menyesatkan dan merendahkan.
Dari sudut pandang akademis, ahli linguistik dan etimologi media sosial, Adam Aleksic (@etymologynerd), mengajak untuk melihat fenomena Italian Brainrot dari kacamata postmodernisme. Menurutnya, tren ini menyoroti kebingungan antara apa yang nyata dan yang palsu di era algoritma dan kecerdasan buatan.
Ketika kita melihat perpaduan yang tidak masuk aka, seperti kepala unta dengan tubuh kulkas, kita dihadapkan pada ketidakpastian tentang apa yang bisa kita percayai di dunia digital. Aleksic berpendapat bahwa melalui absurditas ini, meme-meme brainrot menantang batasan antara realitas dan imajinasi, bahkan menjadi bentuk perlawanan terhadap klasifikasi sosial yang kaku.
Namun, tidak semua refleksi filosofis ini menutup mata terhadap potensi dampak negatifnya. Penelitian yang masih dalam tahap awal, seperti yang dikemukakan oleh Dr. Susanne Schweizer dari UNSW School of Psychology, memperingatkan bahwa konsumsi konten berulang dan kompulsif seperti Italian Brainrot bisa meningkatkan risiko gangguan emosional, terutama bagi individu yang rentan terhadap perilaku adiktif. Konten pendek, acak, dan penuh distraksi ini bisa memperburuk kondisi seperti kelelahan mental, gangguan konsentrasi, hingga mempercepat munculnya gejala pikiran negatif berulang, faktor risiko utama untuk gangguan emosi.
Clinical psychologist Carlos Hidalgo juga menambahkan bahwa konsumsi berlebihan konten seperti ini dapat mempengaruhi struktur otak, mendorong perilaku pasif dalam proses belajar, dan memperparah kesepian di kalangan pengguna muda. Mengingat otak remaja masih dalam tahap perkembangan, paparan berlebihan terhadap tren semacam ini bisa membawa konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan kognitif dan emosional mereka.
Di sisi lain, dari perspektif branding dan pemasaran, fenomena Italian Brainrot juga memicu perdebatan tentang bagaimana merek berinteraksi dengan tren internet. Francesco De Nittis, seorang konsultan pemasaran di Human Centric Group, menyebut tren ini sebagai "pelajaran kilat" tentang cara merebut perhatian Gen Z. Ia menekankan bahwa kekacauan dan absurditas adalah bagian dari daya tariknya — namun memperingatkan bahwa sekadar ikut-ikutan tanpa identitas yang jelas akan membuat brand mudah dilupakan.
“Siapa pun bisa memposting meme pasta, tapi hanya merek dengan suara yang jelas yang mampu mengubah tren ini menjadi koneksi jangka panjang,” kata De Nittis. Contohnya, Ryanair, yang berhasil tetap relevan di TikTok karena tetap otentik terhadap citra mereka — murah, kacau, dan aneh dengan cara yang justru memikat.