Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok, Warisan Budaya yang Penuh Makna

2 weeks ago 9

Liputan6.com, Jakarta Indonesia terkenal dengan kekayaan tradisi dan budaya yang tersebar di berbagai daerah, termasuk dalam merayakan rangkaian ibadah Ramadhan hingga Idul Fitri. Salah satu tradisi unik yang masih terjaga hingga kini adalah perayaan lebaran ketupat di Lombok, atau yang dalam bahasa setempat dikenal sebagai "Lebaran Topat."

Tradisi lebaran ketupat di Lombok dilaksanakan enam hari setelah Idul Fitri dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sasak. Sekitar 90% masyarakat Lombok masih aktif menjalankan tradisi ini, menjadikannya salah satu warisan budaya yang paling dinanti setiap tahunnya.

Lebih dari sekadar perayaan, tradisi ini menyimpan berbagai nilai luhur yang mencerminkan harmoni antara dimensi religius dan sosial dalam kehidupan masyarakat Lombok. Mari kita telusuri lebih dalam tentang tradisi yang kaya makna ini, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (21/1/2025).

Budaya lebaran di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya Islam dan budaya lokal. Tradisi lebaran memiliki sejarah panjang dan makna spiritual yang mendalam

Sejarah dan Asal Usul Lebaran Ketupat di Lombok

Memahami sejarah dan asal usul tradisi lebaran ketupat di Lombok tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penyebaran Islam di pulau ini. Tradisi yang telah mengakar selama ratusan tahun ini merupakan perpaduan harmonis antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal masyarakat Sasak.

Tradisi lebaran ketupat di Lombok telah berlangsung secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Perayaan ini memiliki kaitan erat dengan ajaran Islam tentang keutamaan puasa Syawal, yakni puasa sunnah yang dilakukan selama enam hari setelah Idul Fitri. Pelaksanaan puasa Syawal ini kemudian dirayakan dengan tradisi lebaran ketupat sebagai bentuk rasa syukur atas selesainya rangkaian ibadah puasa.

Dalam konteks budaya Sasak, perayaan ini memiliki posisi yang sangat istimewa. Masyarakat Sasak menyebut perayaan ini sebagai "Lebaran Nine" (lebaran perempuan), yang dipandang sebagai pasangan dari "Lebaran Mame" (Idul Fitri). Penyebutan ini bukan sekadar istilah, melainkan mencerminkan filosofi keseimbangan dalam pandangan hidup masyarakat Sasak.

Keistimewaan tradisi ini juga tercermin dari pengaruh kepercayaan Waktu Telu, sebuah varian kepercayaan Islam yang pernah berkembang di Lombok. Bagi penganut Waktu Telu di masa lalu, lebaran ketupat diawali dengan ritual khusus bernama sholat qulhu sataq, yaitu shalat dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 200 kali. Meski praktik ini tidak lagi dilakukan oleh mayoritas muslim di Lombok saat ini, namun hal ini menunjukkan bagaimana tradisi lebaran ketupat telah mengalami proses akulturasi budaya yang panjang.

Seiring berjalannya waktu, tradisi lebaran ketupat di Lombok tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga berkembang menjadi momentum penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Tradisi ini bahkan menjadi jembatan pemersatu antara komunitas Muslim dan Hindu di Lombok, yang terlihat dari pelaksanaan ritual Perang Topat di Pura Lingsar yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Bali di Lombok.

Dengan sejarah panjang dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, tradisi lebaran ketupat telah menjadi identitas kultural yang khas bagi masyarakat Lombok. Tradisi ini tidak hanya menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan, tetapi juga menjadi bukti bagaimana nilai-nilai religius dan kearifan lokal dapat berpadu menciptakan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.

Rangkaian Pelaksanaan Tradisi

Tradisi lebaran ketupat di Lombok dilaksanakan melalui serangkaian prosesi yang sarat makna. Setiap tahapan dalam pelaksanaan tradisi ini memiliki nilai dan tujuan tersendiri, mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Sasak. Berikut adalah rangkaian lengkap pelaksanaan tradisi lebaran ketupat di Lombok:

1. Ziarah Makam

Prosesi awal tradisi lebaran ketupat di Lombok dimulai dengan ziarah ke makam para wali dan ulama yang telah berjasa menyebarkan Islam di Pulau Lombok. Di Kota Mataram, dua lokasi utama yang menjadi tujuan ziarah adalah Makam Bintaro dan Makam Loang Baloq di Tanjung Karang. Sejak pukul 07.00 pagi, kedua lokasi ini sudah dipenuhi peziarah yang datang dari berbagai penjuru Lombok. Para peziarah tidak hanya memanjatkan doa, tetapi juga melakukan berbagai ritual yang diyakini membawa keberkahan.

2. Ritual Keagamaan

Selama prosesi ziarah, masyarakat melakukan beragam ritual yang telah menjadi tradisi turun-temurun. Salah satu ritual yang paling populer adalah berseraup atau membasuh wajah dengan air makam yang dianggap keramat. Ritual ini dipercaya dapat membersihkan diri dari segala kotoran, baik secara fisik maupun spiritual. Selain itu, ada juga tradisi ngurisan atau mencukur rambut bayi yang diyakini akan membawa keberuntungan dan menjadikan anak tersebut tumbuh menjadi pribadi yang saleh dan sukses di masa depan.

3. Makan Bersama

Setelah melakukan prosesi ziarah dan ritual keagamaan, masyarakat melanjutkan dengan tradisi makan bersama. Mereka membawa berbagai hidangan khas seperti ketupat, pelalah ayam, opor telur, pelecing kangkung, dan urap-urap. Hidangan-hidangan ini tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga menjadi simbol kesyukuran dan kebersamaan. Masyarakat makan bersama di area makam atau tempat-tempat yang telah ditentukan, menciptakan suasana keakraban dan kekeluargaan.

4. Perang Topat

Salah satu puncak perayaan yang paling dinanti adalah tradisi Perang Topat yang dilaksanakan di Pura Lingsar. Prosesi ini dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan hasil bumi sebagai sarana persembahyangan. Tepat saat gugurnya bunga waru atau rorok kembang waru (sekitar pukul 17.30), masyarakat Muslim dan Hindu berkumpul untuk saling melempar ketupat dalam suasana yang penuh kegembiraan. Ketupat yang telah digunakan dalam perang kemudian diperebutkan karena dipercaya membawa berkah kesuburan bagi tanaman.

5. Wisata Pantai

Rangkaian tradisi ditutup dengan mengunjungi pantai, mulai dari Pantai Bintaro hingga Pantai Tanjung Karang. Masyarakat membawa hidangan ketupat dan lauk pauk khas Lombok untuk dinikmati bersama keluarga sambil menikmati pemandangan pantai. Suasana ini semakin meriah dengan adanya pertunjukan musik tradisional yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat sebagai upaya pelestarian budaya.

Setiap tahapan dalam rangkaian pelaksanaan tradisi lebaran ketupat ini memiliki makna mendalam dan saling terkait satu sama lain. Mulai dari prosesi ziarah yang mencerminkan penghormatan kepada leluhur, ritual keagamaan yang sarat nilai spiritual, hingga perayaan yang mengedepankan kebersamaan dan toleransi. Keseluruhan rangkaian ini menjadi bukti bagaimana masyarakat Lombok mampu memadukan nilai-nilai religius dengan kearifan lokal dalam sebuah tradisi yang harmonis.

Keunikan Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok

Setiap daerah di Indonesia memiliki cara unik dalam merayakan lebaran ketupat, namun tradisi yang berkembang di Lombok memiliki kekhasan tersendiri yang tidak ditemukan di daerah lain. Keunikan ini tidak hanya terlihat dari rangkaian prosesinya, tetapi juga dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menjadikannya salah satu warisan budaya yang paling menarik di Nusa Tenggara Barat.

Perang Topat: Simbol Toleransi Beragama

Perang Topat merupakan salah satu keunikan paling menonjol dalam tradisi lebaran ketupat di Lombok. Ritual yang dilaksanakan di Pura Lingsar ini menjadi simbol kerukunan antara umat Islam dan Hindu yang telah terjalin sejak masa lampau. Mengenakan pakaian adat khas Sasak dan Bali, ribuan warga dari kedua komunitas berkumpul untuk melaksanakan upacara keagamaan yang dikenal sebagai upacara pujawali.

Prosesi Perang Topat dimulai dengan ritual mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan hasil bumi sebagai sarana persembahyangan. Kegiatan ini didominasi oleh masyarakat Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu. Puncak acara terjadi saat gugurnya bunga waru atau dalam bahasa Sasak disebut "rorok kembang waru", yakni menjelang tenggelamnya matahari sekitar pukul 17.30. Pada momen inilah kedua komunitas saling melempar ketupat dalam suasana yang penuh kegembiraan.

Wisata Pantai dan Kuliner

Keunikan lain dari tradisi ini adalah paduan antara ritual keagamaan dengan wisata pantai. Setelah melakukan prosesi ziarah dan ritual keagamaan, masyarakat Lombok memiliki tradisi mengunjungi pantai, terutama di sepanjang pesisir dari Pantai Bintaro hingga Pantai Tanjung Karang. Mereka membawa hidangan ketupat lengkap dengan bumbu-bumbu khas Lombok untuk dinikmati bersama keluarga.

Momen ini juga dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan musik tradisional yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Perpaduan antara suasana pantai, kuliner khas, dan hiburan tradisional menciptakan pengalaman budaya yang unik dan menarik, baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawan.

Ritual Penyucian dan Pengobatan

Tradisi lebaran ketupat di Lombok juga unik karena diyakini memiliki kekuatan untuk menyucikan diri dan menyembuhkan berbagai penyakit, baik fisik maupun spiritual. Masyarakat Sasak meyakini bahwa air yang telah didoakan di makam-makam keramat memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit seperti dengki, iri hati, pendendam, pemarah, dan berbagai penyakit hati lainnya.

Tradisi Ngurisan

Satu lagi keunikan yang membedakan perayaan lebaran ketupat di Lombok adalah tradisi ngurisan atau mencukur rambut bayi. Ritual ini biasanya dilakukan di makam-makam yang dianggap keramat dan diyakini akan membawa keberkahan bagi sang bayi, menjadikannya anak yang saleh dan sukses di masa depan.

Keragaman dan keunikan dalam tradisi lebaran ketupat di Lombok ini menunjukkan bagaimana masyarakat setempat mampu memadukan berbagai elemen budaya dan kepercayaan dalam satu perayaan yang harmonis. Mulai dari aspek keagamaan, sosial, budaya, hingga wisata, semuanya berpadu menciptakan sebuah tradisi yang tidak hanya menarik secara kultural tetapi juga bermakna secara spiritual. Hal ini menjadikan tradisi lebaran ketupat di Lombok sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi mendatang.

Makna Filosofis dalam Tradisi

Di balik kemeriahan perayaan lebaran ketupat di Lombok, tersimpan berbagai makna filosofis yang mendalam. Nilai-nilai ini tidak hanya mencerminkan kearifan lokal masyarakat Sasak, tetapi juga menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mari kita telusuri makna-makna filosofis yang terkandung dalam setiap elemen tradisi ini.

Simbol Ketupat

Ketupat, sebagai elemen utama dalam perayaan ini, memiliki makna filosofis yang berlapis-lapis. Bentuk ketupat yang segi empat bukan sekadar kebetulan, melainkan mengandung filosofi mendalam tentang hakikat penciptaan manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Sasak, empat sudut ketupat melambangkan empat unsur kehidupan: air, tanah, api, dan angin. Ini mengingatkan manusia akan asal-usul penciptaannya dan kewajibannya untuk selalu bersyukur kepada Sang Pencipta.

Anyaman daun kelapa yang membungkus ketupat juga memiliki makna tersendiri. Rumitnya anyaman melambangkan kompleksitas kehidupan bermasyarakat yang harus diikat dengan tali silaturahmi yang kuat. Ini mengajarkan bahwa setiap individu perlu memahami perannya dalam masyarakat dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama.

Bentuk ketupat yang mengarah ke empat penjuru mata angin juga mengandung filosofi tentang orientasi hidup manusia. Ini mengingatkan bahwa dalam menjalani kehidupan, manusia harus selalu menjaga keseimbangan, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, alam, maupun diri sendiri.

Nilai Spiritual

Lebaran ketupat mengandung berbagai nilai spiritual yang dalam. Salah satu yang paling mendasar adalah konsep pembersihan diri dari sifat dengki dan iri hati. Masyarakat Sasak meyakini bahwa momen ini menjadi waktu yang tepat untuk membersihkan hati dan pikiran dari berbagai penyakit spiritual yang dapat mengganggu keharmonisan hidup.

Pepatah Sasak yang berbunyi "dendek ipuh pantok gong" (tak usah segan memukul/membunyikan gong) mengajarkan pentingnya introspeksi diri. Ini menjadi pengingat bahwa setiap orang harus berani mengoreksi diri sendiri dan terbuka terhadap kritik yang membangun dari orang lain. Nilai ini sangat penting dalam membangun karakter yang lebih baik.

Harmoni Sosial

Tradisi makan bersama dalam perayaan lebaran ketupat mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan dalam masyarakat. Semua orang duduk bersama tanpa memandang status sosial, berbagi makanan yang sama, dan berinteraksi dalam suasana kekeluargaan. Ini mengajarkan bahwa di hadapan Tuhan dan dalam konteks sosial, semua manusia memiliki kedudukan yang sama.

Pepatah Sasak lainnya yang berbunyi "Manis-manis buak ara, Pedis-pedis rasen nasi" (Manis rasanya si buah ara, Kecut-kecut rasanya nasi) mengandung pesan moral tentang pentingnya mencari rezeki yang halal. Ini mengajarkan bahwa hasil jerih payah sendiri, meskipun sederhana, akan terasa lebih nikmat dibandingkan dengan kemewahan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal.

Nilai Pelestarian Lingkungan

Penggunaan air dalam ritual berseraup mengandung makna filosofis tentang pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam. Air diibaratkan seperti emas yang sangat berharga bagi kehidupan. Ini menjadi pengingat bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga kebersihan air dan lingkungan demi keberlangsungan hidup semua makhluk.

Makna-makna filosofis yang terkandung dalam tradisi lebaran ketupat di Lombok ini menunjukkan bagaimana leluhur masyarakat Sasak telah mewariskan nilai-nilai kehidupan yang sangat berharga melalui simbol-simbol dan ritual yang sederhana namun penuh makna. Filosofi-filosofi ini tidak hanya menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi fondasi dalam membangun masyarakat yang harmonis dan berbudaya. Di era modern ini, memahami dan menghayati makna filosofis dari tradisi ini menjadi semakin penting untuk menjaga identitas budaya sekaligus membentuk karakter generasi penerus yang lebih baik.

Tradisi lebaran ketupat di Lombok tidak hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga menjadi media untuk memperkuat kohesi sosial dan nilai-nilai spiritual dalam masyarakat. Melalui berbagai ritual dan kegiatan yang dilakukan, tradisi ini berhasil mempertahankan relevansinya di tengah arus modernisasi, sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya yang unik di Pulau Lombok.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|