Liputan6.com, Jakarta Yulaiha (bukan nama sebenarnya) mengingat jelas pengalamannya saat harus dirawat di salah satu rumah sakit di Yogyakarta 2007 silam. Saat itu, transpuan yang juga ODHIV (Orang dengan HIV) itu mengalami diare berat.
Namun, selama satu minggu dirawat, dokter yang bertanggung jawab tak pernah memeriksanya langsung. Yulaiha hanya ditangani oleh perawat yang berjaga.
“Terus (setelah) satu minggu, dokternya baru muncul. Waktu itu saya mau pulang. Dokternya cuma bicara dari pintu,” ujar Yulaiha saat ditemui Selasa (20/5/2025).
Tak hanya itu, setiap waktunya makan, Yulaiha mendapati makanannya ditempatkan dalam wadah sekali pakai. Padahal, pasien lain di ruangan yang sama mendapatkan makanan dengan piring dan gelas biasa.
Perlakuan diskriminatif dan yang dialami Yulaiha merupakan satu dari banyak pengalaman tak menyenangkan transpuan ODHIV saat mengakses layanan kesehatan. Status, identitas, dan kondisi Yulaiha membuatnya memiliki kerentanan berlapis.
Layanan kesehatan yang diperlukan ODHIV tak terbatas pada akses terapi Antiretroviral (ARV). Menurut Kementerian Kesehatan dalam Pedoman Pengobatan Antiretroviral, ODHIV berisiko terkena penyakit-penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hingga penyakit paru kronik. Ini sebabnya penting akses kesehatan holistik yang ramah bagi ODHIV.
Penderita HIV/AIDS masih terus berjuang melawan stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap penyakit yang dideritanya. Sebagian orang masih mengangkat HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan.
Perjalanan Transpuan ODHIV Dapatkan Akses Kesehatan
Sebelum pindah ke Yogyakarta, Yulaiha sudah 25 tahun bekerja di Bandung sebagai pekerja seks. Pada 2006, ia diajak untuk melakukan Voluntary Counseling and Testing (VCT) yang diadakan sebuah LSM di Bandung. Saat itulah ia mengetahui status HIV-nya.
Meski sudah dinyatakan positif, Yulaiha tak lantas langsung mendapat pengobatan. Saat itu, pengobatan Antiretroviral (ARV) belum mudah diakses seperti sekarang. Tak ingin menyerah, Yulaiha aktif mencari informasi ke konselor dan teman-temannya tentang terapi ARV. Dari salah seorang konselor, Yulaiha mendengar bahwa Yogyakarta memiliki akses pengobatan HIV yang lebih maju.
Pada 2007, Yulaiha memantapkan diri untuk pergi ke Yogyakarta. Di tahun itulah Yulaiha mulai mengenal Yayasan Kebaya, sebuah organisasi non-profit yang bergerak dalam pemberdayaan transpuan serta mendukung Orang dengan HIV (ODHIV). Sejak 2007, Yayasan Kebaya sudah mendampingi 438 ODHIV yang 32 di antaranya adalah transpuan.
Pengobatan Yulaiha pun dibantu oleh yayasan tersebut. Setelah sembuh dari diare berkepanjangan, Yulaiha mulai aktif mengonsumsi ARV.
Namun, karena saat itu pengobatan ARV masih minim pemantauan, Yulaiha sempat mengalami anemia parah akibat efek samping dari obat tersebut. Ia pun harus kembali menjalani pengobatan di rumah sakit hingga masuk ICU.
“Pengobatan ARV itu kan kalau sekarang dipantau, ya. Satu minggu efek sampingnya apa, reaksi nya gimana. Kalau dulu masih belum seperti sekarang,” cerita Yulaiha.
Yulaiha bercerita, jika terapi ARV tidak terpantau, maka efek samping yang tidak segera tertangani akan berakibat buruk seperti apa yang dialaminya.
Hampir dua dekade kemudian, Yulaiha melihat pelayanan kesehatan untuk kelompok dengan kerentanan berlapis telah mengalami perubahan signifikan. Kini, masih di kota yang sama, Yulaiha mendapatkan pelayanan yang jauh berbeda.
Lima tahun terakhir, Yulaiha mulai mengakses ARV dan layanan kesehatan pendukungnya lewat puskesmas. Hingga kini, Yulaiha terdaftar sebagai pasien tetap di Puskesmas Gedongtengen, Kota Yogyakarta.
Setiap satu bulan sekali Yulaiha rutin mengambil ARV di puskesmas tersebut. Tiap tahun ia juga melakukan tes Viral Load (VL) HIV untuk memantau efektivitas terapi ARV-nya. Selain akses layanan kesehatan untuk HIV, Yulaiha juga secara berkala melakukan tes kesehatan umum seperti cek gula darah, kolesterol, hingga fungsi ginjal, mengingat usianya kini memasuki kepala enam.
Sebagai lansia, Yulaiha sadar pentingnya memantau kondisi kesehatannya. Terlebih karena statusnya sebagai ODHIV, yang membuatnya lebih rentan secara kesehatan.
“Kita kan sudah lansia gitu, takutnya ada penyakit yang penyakit dalam gitu. Jadi kan kalau rutin periksa, kalau sudah tahu dulu kondisinya, kan gitu bisa langsung diobatin,” ujar Yulaiha.
Seluruh pengobatan dan layanan kesehatan yang diakses Yulaiha gratis, ditanggung BPJS. Ia pun merasa dipermudah ketika ingin melakukan pemeriksaan. Cukup mendaftar secara daring, Yulaiha pun tak perlu mengantre lama di puskesmas.
Di puskesmas, Yulaiha tak lagi mendapat perlakuan diskriminatif seperti yang dialaminya belasan tahun lalu. Menurutnya, pelayanan kesehatan untuk ODHIV sudah semakin berbenah.
Meski demikian, ia mengaku pernah sekali mengalami situasi tidak nyaman ketika dipanggil dengan sebutan bapak ketika sedang mengambil obat. Namun, ia segera mengkomunikasikannya pada pendamping sebaya. Setelahnya, ia tak pernah mengalaminya lagi.
“Dulu sempat dipanggil bapak, bapak, gitu. Terus langsung ditegur Mas Hendri (pendamping sebaya), enggak boleh gitu,” ujar Yulaiha.
Situasi-situasi kecil ini beberapa kali masih ditemui di fasilitas kesehatan. Novi, transpuan ODHIV yang kini juga menjadi pendamping sebaya, membenarkan cerita Yulaiha.
"Dulu kami sering menemui kasus penyebutan nama asli atau panggilan 'Pak', 'Mas', atau 'Om'. Padahal kami ingin dipanggil dengan identitas kami saat ini, baik dengan nama baru atau sebutan 'Kak' saja sudah cukup," ujarnya.
Meski nampak sepele, masalah panggilan tersebut termasuk dalam bentuk diskriminasi. Ini yang kemudian membuat transpuan enggan berobat. Akhirnya, layanan kesehatan primer, jauh dari jangkauan transpuan ODHIV.
Selain panggilan, Novi juga pernah mendapati layanan kesehatan yang mengakhirkan pasien ODHIV saat berobat. Pasien ODHIV dibuat menunggu lama sampai seluruh pasien habis, baru mereka ditangani.
“Dulu, kalau ada yang sakit, dilayani terakhir setelah semua pasien habis,” cerita Novi.
Tapi bentuk-bentuk diskriminasi ini kini sudah jarang ditemui. Menurut Novi, layanan kesehatan saat ini sudah jauh lebih inklusif dan ramah ODHIV serta transpuan. Kehadiran fasilitas kesehatan ramah ODHIV membantu menghapus stigma berlapis yang ada.
"Di Puskesmas Gedongtengen khususnya, ODHIV dan transpuan benar-benar dimanjakan pelayanannya,” ujar Novi.
Permudah Akses Layanan Kesehatan bagi ODHIV
Puskesmas Gedongtengen sudah sejak 2006 merintis konsep layanan kesehatan primer yang ramah ODHIV. Tri Kusumo Bawono merupakan dokter sekaligus kepala Puskesmas Gedongtengen yang punya keinginan kuat membangun layanan kesehatan holistik ini.
Berbekal pelatihan .komprehensif penanganan HIV dari pemerintah pusat, Tri dan timnya mulai mengimplementasikan konsep layanan yang inovatif. Mereka membentuk dua jenis pelayanan: tim statis yang beroperasi di puskesmas dan tim mobile klinik yang melakukan kunjungan lapangan menggunakan ambulans khusus.
Strategi ini diambil melihat kelompok berisiko memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dengan pasien umum. Mereka cenderung enggan datang ke fasilitas kesehatan karena stigma, ketakutan, dan kekhawatiran akan kerahasiaan identitas mereka.
Pelayanan kemudian diperluas dengan jadwal khusus setelah jam kerja normal, hingga pukul 17.00, dengan kompensasi honor khusus untuk semua petugas yang terlibat.
“Kelompok sasaran ini umumnya aktif pada sore dan malam hari, sehingga jadwal konvensional puskesmas tidak sesuai dengan ritme hidup mereka. Selain itu, pelayanan di luar jam normal juga membantu menjaga privasi karena tidak akan bertemu dengan pasien umum lainnya,” ujar Tri saat ditemui di kantornya Selasa (20/5/2025).
Pada 2016, layanan semakin lengkap dengan dimulainya pemberian ARV. Inovasi "One Stop Service" juga dikembangkan untuk mengatasi masalah jumlah pasien yang semakin banyak. Sistem ini kini memungkinkan pasien mendaftar melalui WhatsApp sehari sebelumnya, sehingga rekam medis sudah disiapkan dan mereka tidak perlu menunggu lama.
“Kalau ada pasien ODHIV, tidak boleh antre lama. Dia harus diprioritaskan. Supaya dia nyaman ke sini,” ujar dokter yang beberapa kali dinobatkan sebagai dokter teladan ini.
Pelayanan ini tidak hanya berlaku bagi pelayanan HIV, tapi juga pelayanan kesehatan lain jika ODHIV memerlukannya. Fasilitas seperti cek kesehatan penyakit tidak menular seperti hipertensi, fungsi ginjal dan hati, kolesterol, jantung, hingga paru-paru bisa didapatkan tanpa adanya diskriminasi.
Selain itu, layanan kesehatan mental psikolog juga bisa diakses gratis di puskesmas ini yang juga berlaku di seluruh puskesmas di Kota Yogyakarta. Hingga kini, Puskesmas Gedongtengen memiliki 376 pasien yang mengakses ARV secara aktif.
Konsep "PERADA" (Pelayanan Ramah ODHIV) secara formal diluncurkan pada tahun yang sama, meskipun praktiknya sudah dirintis sejak 2006. Program ini kemudian mulai direplikasi ke puskesmas lain di DIY.
Dokter-dokter yang pernah dilatih oleh Tri ditugaskan ke berbagai puskesmas dan membawa konsep serupa. Beberapa di antaranya bahkan berhasil mengembangkan program dengan capaian yang lebih tinggi.
Pada 2024, seluruh puskesmas di DIY dinyatakan mampu memberikan layanan HIV. Deklarasi ini menandai pencapaian visi awal untuk membuat layanan HIV dapat diakses di mana saja tanpa stigma dan diskriminasi.
Di Yogyakarta, berdasarkan data terbaru dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY, hingga akhir Desember 2024 tercatat total 8.627 kasus HIV dengan 2.391 di antaranya telah berkembang menjadi AIDS. Kabupaten Sleman memiliki kasus tertinggi dengan 2.157 HIV dan 550 AIDS, diikuti Kabupaten Bantul (1.912 HIV, 76 AIDS) dan Kota Yogyakarta (1.779 HIV, 42 AIDS). Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo mencatat angka terendah dengan masing-masing 707 dan 478 kasus HIV.
Jumlah ini menunjukkan bahwa penanganan HIV masih perlu mendapat perhatian serius, terutama jika ingin mencapai penuntasan epidemi HIV/AIDS pada tahun 2030.
Layanan Kesehatan Ramah ODHIV bantu Lepas Stigma
Pendekatan humanis menjadi ciri khas pelayanan di Puskesmas Gedongtengen. Transpuan yang berobat dipanggil dengan sebutan sesuai identitas gender mereka, bukan nama asli yang tertera di KTP.
Nama panggilan atau alias juga dicantumkan dalam rekam medis untuk memudahkan komunikasi. Hal-hal seperti ini tampak sederhana tetapi sangat berarti bagi komunitas yang sering mengalami diskriminasi dan pengabaian identitas mereka.
“Kami selalu cantumkan nama ‘panggung’ mereka dan memanggilnya dengan nama itu. Karena pernah ada pengalaman, nakes kami memanggil dengan nama asli (sesuai KTP), pasiennya tidak mau maju,” ujar Tri.
Salah satu tantangan internal yang signifikan adalah mengatasi stigma di kalangan petugas kesehatan sendiri. Tri menceritakan pernah ketika ada Transpuan ODHIV yang bertugas sebagai pendamping sebaya di puskesmas tersebut, sering makan bersama di kantin belakang. Teman-teman Tri lantas memilih membawa gelas sendiri dari rumah karena ketakutan tertular. Padahal, penularan HIV hanya melalui cairan darah, vagina, dan sperma.
Dibutuhkan waktu tiga tahun untuk membuat seluruh tim terbiasa dan memahami bahwa HIV tidak menular melalui kontak kasual sehari-hari. Tri terus menjelaskan kepada timnya tentang cara penularan HIV yang sebenarnya, sambil memberikan contoh langsung melalui interaksi sehari-hari dengan pasien.
“Saya sering perlihatkan ketika saya berinteraksi dengan ODHIV, bahkan sampai ambil darahnya langsung, setelah itu, perlahan baru mereka berubah sikap,” jelas Tri.
Ketika petugas melihat bahwa Dokter Tri bisa berinteraksi normal dengan klien HIV tanpa mengalami masalah kesehatan, kepercayaan dan penerimaan mereka perlahan mulai terbentuk. Transformasi ini sangat penting karena sikap petugas kesehatan akan sangat mempengaruhi kenyamanan dan kepercayaan klien.
Dukungan Pendamping Sebaya
Kesuksesan Puskesmas Gedongtengen dalam memberikan akses layanan kesehatan yang ramah bagi ODHIV juga tak lepas dari upaya kolaborasi lintas sektor yang sudah dilakukan. Salah satu kolaborasi yang dilakukan adalah bersama dengan pendamping sebaya.
Pendamping sebaya adalah seseorang yang memberikan dukungan dan bantuan kepada orang lain yang memiliki kesamaan dalam hal pengalaman atau kondisi tertentu. Pendamping dan yang didampingi biasanya memiliki latar belakang, tantangan, atau situasi yang serupa.
Dalam konteks HIV, pendamping sebaya biasanya juga merupakan ODHIV yang sudah stabil dan bisa membantu orang lain. Namun, tak selalu pendamping sebaya merupakan ODHIV. Konsep ini didasarkan pada prinsip bahwa orang yang memiliki pengalaman serupa dapat lebih mudah memahami dan memberikan dukungan yang relevan.
Sistem rujukan dan dukungan kelompok sebaya ini yang juga dikembangkan secara sistematis di Puskesmas Gedongtengen. Pendekatan peer support ini terbukti sangat efektif karena dukungan datang dari orang yang memiliki pengalaman serupa dan dapat dipercaya.
“Ketika ditemukan kasus baru yang sulit menerima diagnosis, tim puskesmas akan mengajak ODHIV lain yang sudah stabil untuk memberikan dukungan dan berbagi pengalaman,” ujar Tri.
Selain Novi, pendamping sebaya yang aktif menemani ODHIV berobat ke puskesmas adalah Hendri. Bersama Yayasan Victory Plus Yogyakarta dan LSM Kebaya, hendri memberi dukungan mental maupun fisik untuk ODHIV. Victory Plus merupakan LSM yang bergerak memberi dukungan langsung kepada ODHIV di Yogyakarta. Hingga kini, lebih dari 2.000 ODHIV yang sudah didampingi oleh Victory Plus.
Sejak 2013, Hendri membantu para ODHIV dalam mengakses layanan kesehatan. Ia yang biasanya mendaftarkan dampingannya ketika akan berobat sekaligus mengantarkannya.
“Di sini dokter-dokternya benar-benar saling menguatkan para ODHIV, jadi ada rasa nyaman untuk berobat,” ujar Hendri.
Setiap hari, Hendri mengunjungi puskesmas-puskesmas yang ada di Kota Yogyakarta untuk mendampingi ODHIV berobat. Gedongtengen merupakan puskesmas yang paling sering ia kunjungi karena banyak ODHIV yang berobat di puskesmas ini. Tak hanya ARV, VCT atau tes viral load, Hendri juga kerap mendampingi ODHIV yang ingin memeriksakan kondisi kesehatannya, termasuk penyakit tidak menular yang dimiliki.
Perluasan Akses Kesehatan Ramah ODHIV
Transformasi akses layanan kesehatan untuk ODHIV menunjukkan kemajuan yang signifikan dari era terbatas menuju era perluasan akses. Laurensia Ana, Community Liaison Officer (CLO) Yayasan Victory Plus Yogyakarta menyebutkan, secara regulasi akses layanan kesehatan untuk ODHIV sudah cukup mengakomodasi kebutuhan ODHIV.
“Secara regulasi, penanggulangan HIV sudah cukup inklusif, hanya perlu dipantau implementasinya,” ujar Ana saat ditemui pada Sabtu (17/5/2025).
Di tingkat provinsi, Perda DIY No. 3 Tahun 2023 menjadi payung hukum terbaru untuk penanggulangan HIV. Dalam regulasi ini, ODHIV memiliki hak penuh untuk mendapatkan layanan kesehatan sesuai standar, termasuk pengobatan ARV, perawatan medis, serta dukungan psikososial dan spiritual.
Perda ini juga menekankan pentingnya kerahasiaan status HIV untuk mencegah stigma dan diskriminasi. Pemerintah daerah diwajibkan menyediakan fasilitas kesehatan yang ramah ODHIV, dan jika tidak mampu, wajib merujuk ke fasilitas yang memadai.
Di Kota Yogyakarta, Pergub tersebut dikembangkan Peraturan Walikota (PERWALI) Kota Yogyakarta Nomor 81 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Penanggulangan HIV AIDS dan Infeksi Menular Seksual Tahun 2023 - 2027.
Peraturan ini menjamin akses layanan kesehatan yang menyeluruh. Layanan tersebut mencakup pemeriksaan HIV, pengobatan ARV, skrining dan pengobatan TBC, pencegahan penularan dari ibu ke anak, serta pengobatan untuk infeksi menular seksual lainnya.
Pemerintah juga menargetkan peningkatan angka tes HIV dan pengobatan ARV tiap tahun. Selain itu, ODHIV juga mendapat perlindungan melalui kegiatan pendampingan oleh LSM, pemberian ARV secara berkelanjutan, serta pemantauan pengobatan untuk mencegah putus pengobatan (lost to follow up).
Meski sudah kuat secara regulasi, Ana menekankan bahwa masih ada banyak aspek layanan kesehatan yang perlu menjadi perhatian. Akses layanan kesehatan mental misalnya, masih sering luput dibahas. Padahal, ada keterkaitan erat antara HIV dan kesehatan mental, terutama untuk ODHIV yang harus minum ARV seumur hidup.
“Orang minum obat seumur hidup kan bisa dibayangkan bagaimana susahnya. Ini sama juga seperti orang diabet dan hipertensi itu kan seumur hidup juga, pastinya memengaruhi kondisi mental,” ujar Ana.
Ana juga melihat, ODHIV salah satunya kelompok transpuan masih butuh dorongan untuk mau mengakses layanan kesehatan mental. Terlebih kini layanan psikolog sudah tersedia gratis di seluruh puskesmas yang ada di Kota Yogyakarta.
Akses layanan kesehatan untuk penyakit tidak menular (PTM) bagi ODHIV pun perlu didorong mengingat mereka cukup rentan terhadap masalah kesehatan. Ana menyebut kemampuan memahami kebutuhan holistik ODHIV seperti yang dilakukan Puskesmas Gedongtengen menjadi motor penggerak utama implementasi akses layanan kesehatan yang ramah untuk ODHIV.
Puskesmas Gedongtengen telah membuktikan bahwa stigma dapat diatasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat diberikan kepada semua orang tanpa diskriminasi.