Aturan Royalti Batu Bara Terbaru Efektif 26 April 2025, Ini Sejumlah Perubahannya

3 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia resmi menerbitkan aturan royalti batu bara terbaru melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025.

Aturan ini mulai berlaku efektif pada 26 April 2025 dan menjadi bentuk perubahan atas PP Nomor 15 Tahun 2022 yang sebelumnya mengatur perlakuan perpajakan serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor pertambangan batu bara.

Presiden Prabowo Subianto menandatangani beleid ini pada 11 April 2025 sebagai upaya memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Salah satu poin penting dalam aturan royalti batu bara terbaru ini adalah penyesuaian tarif PNBP berdasarkan Harga Batu Bara Acuan (HBA). Tarif yang dikenakan berkisar antara 15% hingga 28%, tergantung dari nilai HBA per ton saat transaksi.

Penetapan tarif ini disertai pengurangan atas iuran produksi dan pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B, sehingga memberi kerangka yang lebih proporsional bagi pelaku usaha di sektor batu bara.

Perubahan lainnya juga mencakup penghapusan pasal yang mengatur penghasilan dari luar usaha dan ketentuan harga jual yang wajib menggunakan nilai tertinggi antara harga patokan dan harga aktual.

Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya, Selasa (22/4/2025).

Sebuah tambang batubara meledak di China. Saat meledai puluhan pekerja sedang di dalam tambang, akibatnya 15 orang tewas dan lainnya terluka.

1. Aturan Berlaku Efektif Mulai 26 April 2025

Pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto telah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2025 sebagai revisi dari PP Nomor 15 Tahun 2022. Beleid ini mulai berlaku 15 hari setelah diundangkan, yaitu sejak 11 April 2025.

Itu artinya, aturan ini efektif mulai 26 April 2025, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal II aturan tersebut. Peraturan Pemerintah ini berlaku setelah 15 hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Tujuan dari perubahan ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan berusaha bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan dari kontrak/perjanjian sebelumnya. Ini sekaligus merespons kebutuhan regulasi yang lebih adil dan adaptif terhadap dinamika industri batu bara nasional.

2. Penyesuaian Objek Pajak dan Harga Patokan Batu Bara

Dalam Pasal 4 PP No. 18 Tahun 2025, dijelaskan bahwa objek pajak dalam usaha pertambangan mencakup penghasilan dari usaha dan luar usaha, dengan penghitungan berdasarkan nilai tertinggi antara harga patokan batu bara dan harga jual sesungguhnya.

Ini merupakan perubahan dari ketentuan sebelumnya, terutama pada ayat (3), yang kini mewajibkan penghitungan penghasilan berdasarkan harga yang paling tinggi antara kedua acuan tersebut.

Langkah ini dilakukan untuk menghindari praktik undervaluation atau penjualan di bawah harga pasar, sekaligus memastikan penerimaan negara lebih optimal. “Harga patokan batu bara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan harga patokan batu bara pada saat transaksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 4 ayat (5).

3. Skema Tarif Royalti Progresif Berdasarkan HBA

Salah satu sorotan utama dari aturan royalti batu bara terbaru adalah penerapan tarif royalti progresif berdasarkan Harga Batu Bara Acuan (HBA). Tarif royalti kini dihitung dari persentase tertentu terhadap harga jual batu bara, dikurangi iuran produksi dan pemanfaatan aset negara. Misalnya, jika HBA < USD 70 per ton, maka tarif royalti adalah 15%; jika HBA mencapai ≥ USD 180 per ton, maka tarifnya naik menjadi 28%.

Kebijakan tarif progresif ini bertujuan untuk meningkatkan kontribusi pada saat harga komoditas tinggi, sekaligus tetap menjaga daya saing ketika harga sedang rendah. “Tarif 28% dikalikan harga jual untuk HBA ≥ USD 180, dikurangi tarif iuran produksi atau royalti, dan tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B,” tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d.

4. Royalti Tetap Mengacu pada Ketentuan PNBP ESDM

Royalti atau iuran produksi bagi pemegang IUPK tetap mengacu pada ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal ini mencakup iuran tetap dan iuran produksi yang nilainya ditentukan saat IUPK sebagai kelanjutan kontrak/perjanjian diterbitkan.

Penyesuaian ini menegaskan bahwa sektor pertambangan tetap harus tunduk pada pengaturan fiskal yang berlaku, tidak hanya melalui tarif penjualan tetapi juga dari iuran dasar. “Tarif iuran tetap dan iuran produksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang PNBP ESDM,” jelas Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b.

5. Pemerintah Ambil 4% dari Keuntungan Bersih

Pemerintah pusat kini menetapkan bagian penerimaan sebesar 4% dari keuntungan bersih pemegang IUPK sebagai bagian dari PNBP. Ini merupakan langkah baru yang sebelumnya belum secara eksplisit diatur dalam bentuk persentase dari laba bersih.

Penambahan skema ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan dan mencerminkan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam. “Bagian pemerintah pusat sebesar 4% dari keuntungan bersih pemegang IUPK sesuai ketentuan,” tertulis pada Pasal 16 ayat (1) huruf e.

6. Daerah Dapat Jatah 6% dari Keuntungan Bersih

Selain bagian pemerintah pusat, daerah juga mendapatkan alokasi sebesar 6% dari keuntungan bersih pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Ini menjadi bagian dari strategi pemerataan manfaat tambang untuk pembangunan daerah.

Dengan adanya aturan ini, diharapkan wilayah penghasil batu bara dapat meraih manfaat ekonomi lebih nyata, sehingga memperkuat peran tambang dalam pembangunan regional. “Bagian pemerintah daerah sebesar 6% dari keuntungan bersih pemegang IUPK,” tertulis pada Pasal 16 ayat (1) huruf i.

7. Ketentuan PPh dan PBB Mengacu UU Terkini

Aturan terbaru juga menegaskan bahwa tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk kegiatan tambang akan tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku saat IUPK diterbitkan. Artinya, tidak ada perlakuan khusus, seluruh entitas tambang tetap wajib mengikuti aturan fiskal yang sedang berlaku secara nasional.

“Tarif Pajak Penghasilan Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan,” dan “pajak bumi dan bangunan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang PBB,” tegas Pasal 16 ayat (1) huruf g dan h. Ini menunjukkan bahwa sektor tambang tak mendapatkan perlakuan istimewa dalam aspek pajak non-royalti.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|