Liputan6.com, Jakarta Setiap menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia berbondong-bondong menukar uang lama dengan uang baru. Tradisi ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri, terutama bagi anak-anak yang menantikan "angpau" dari orang tua dan kerabat. Namun, dari mana asal-usul kebiasaan ini?
Ternyata, tradisi berbagi uang baru saat Lebaran sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Berawal dari kebiasaan kerajaan, berkembang menjadi bagian dari budaya masyarakat, bahkan sempat dilarang oleh penjajah. Kini, meskipun dunia semakin digital, tradisi ini tetap lestari.
Bagaimana sejarah dan perkembangan tradisi ini dari masa ke masa? Dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber pada Selasa (1/4/2025), berikut penjelasannya.
Berawal dari Zaman Kerajaan Mataram Islam
Sejarah mencatat bahwa kebiasaan berbagi uang baru saat Lebaran sudah ada sejak abad ke-16. Pada masa Kerajaan Mataram Islam (abad ke-16 hingga ke-18), para raja dan bangsawan memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak dan para pengikutnya saat Idul Fitri.
Hadiah ini bukan sekadar pemberian biasa, melainkan simbol rasa syukur setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Para raja dan bangsawan biasa memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya saat Idul Fitri. Hadiah uang baru tersebut mereka bagikan sebagai bentuk rasa syukur.
Pada masa itu, uang baru memiliki nilai lebih dibandingkan uang lama karena dianggap lebih bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan makna Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kesucian setelah Ramadan.
Sempat Dilarang oleh Penjajah Belanda
Meskipun sudah berakar dalam budaya masyarakat, tradisi berbagi uang baru sempat mengalami hambatan. Pada masa penjajahan Belanda, praktik ini dianggap tidak etis dan dilarang.
Pelarangan ini dilakukan karena Belanda ingin mengontrol sistem ekonomi dan mengurangi peredaran uang di masyarakat. Namun, meskipun dilarang secara resmi, masyarakat tetap menjalankan tradisi ini secara diam-diam.
Setelah Indonesia merdeka, tradisi ini kembali berkembang dan menjadi bagian dari budaya nasional. Bahkan, tidak hanya dilakukan oleh keluarga, tetapi juga mulai diadopsi oleh berbagai institusi dan perusahaan dalam bentuk Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para pekerja.
Tradisi Uang Baru dalam Masyarakat Modern
Seiring waktu, tradisi pemberian uang baru mengalami perubahan. Jika dahulu uang baru hanya diberikan kepada anak-anak, kini pemberian uang baru juga meluas ke orang dewasa, pembantu rumah tangga, hingga karyawan di berbagai perusahaan.
Menurut catatan sejarah, konsep THR pertama kali muncul pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi. Pemerintah saat itu memberikan tunjangan bagi aparatur negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka saat Lebaran. Konsep ini kemudian berkembang luas dan menjadi tradisi yang terus dipertahankan hingga sekarang.
Saat ini, selain memberikan uang tunai, banyak orang yang mulai menggunakan uang elektronik atau dompet digital untuk berbagi THR. Namun, meskipun teknologi berubah, makna dari tradisi ini tetap sama, yaitu sebagai simbol kebersihan, kesucian, dan rasa syukur.
Hukum Memberi Uang Baru dalam Islam
- Diperbolehkan dan Dianjurkan Jika Berniat Sedekah
Jika seseorang memberikan uang baru dengan niat membantu orang lain, terutama anak-anak, kerabat, atau mereka yang membutuhkan, maka hukumnya sunnah (dianjurkan) karena termasuk dalam sedekah dan mempererat tali silaturahmi.
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai."(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 594)
Hadis ini menunjukkan bahwa memberi hadiah, termasuk uang baru saat Lebaran, adalah perbuatan yang dapat mempererat hubungan antar sesama Muslim.
- Tidak Boleh Jika Ada Unsur Riya atau Pamer
Jika memberi uang baru dilakukan untuk pamer kekayaan, mencari pujian, atau membebani diri sendiri agar terlihat dermawan, maka dikhawatirkan bisa jatuh ke dalam riya (pamer) yang dilarang dalam Islam.
Allah berfirman:
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, dan mereka tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Barang siapa yang menjadikan setan sebagai teman, maka ia adalah teman yang sangat buruk."(QS. An-Nisa: 38)
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pemberian uang baru dilakukan dengan niat ikhlas dan bukan sekadar untuk mencari pengakuan sosial.
- Haram Jika Mengandung Unsur Riba atau Jual Beli Tidak Sah
Jika seseorang menukar uang lama dengan uang baru tetapi dikenakan biaya tambahan yang tidak sesuai syariat, ini bisa masuk dalam kategori riba, yang dilarang dalam Islam.
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam harus ditukar dalam takaran yang sama dan dilakukan secara tunai. Barang siapa yang melebihkan atau meminta lebih, maka ia telah melakukan riba."(HR. Muslim, no. 1584)
Dari hadis ini, ulama menyimpulkan bahwa penukaran uang lama dengan uang baru harus dalam jumlah yang sama dan tanpa tambahan biaya yang tidak wajar, karena jika ada biaya tambahan tanpa alasan yang jelas, maka itu termasuk riba.
Pertanyaan Seputar Tradisi Uang Baru Lebaran
Q: Kenapa uang baru selalu dicari saat Lebaran?
A: Uang baru dianggap lebih bersih dan suci, sesuai dengan makna Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kesucian. Selain itu, uang baru juga lebih menarik bagi anak-anak.
Q: Apakah tradisi berbagi uang baru hanya ada di Indonesia?
A: Tidak, beberapa negara lain seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah juga memiliki tradisi serupa.
Q: Apakah pemberian uang baru hanya untuk anak-anak?
A: Awalnya hanya untuk anak-anak, tetapi kini tradisi ini meluas ke orang dewasa, pembantu rumah tangga, dan karyawan
Q: Bagaimana cara mendapatkan uang baru untuk Lebaran?
A: Bisa melalui penukaran di bank, jasa penukaran di pasar, atau mengandalkan uang elektronik sebagai alternatif modern.