Mengajar 400 Siswa, Seorang Guru Meninggal karena Kelelahan

5 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Seorang guru muda meninggal karena kelelahan setelah bekerja lembur dalam waktu yang panjang. Pria bermarga Li di Tiongkok yang berusia 20-an ditemukan tak bernyawa di kantornya setelah berusaha mengelola beban kerja yang mencakup 400 siswa. Kasus ini menyoroti fenomena budaya kerja berlebihan yang masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di sektor pendidikan, di mana para guru sering kali dibebani tanggung jawab yang terlampau berat.

Kejadian guru yang meninggal karena kelelahan ini bukan kasus pertama yang terjadi akibat budaya kerja berlebihan. Namun, kasus Li menjadi perhatian khusus karena ironi situasinya - dia meninggal beberapa hari sebelum pernikahannya yang dijadwalkan pada 2 Mei. Alih-alih merayakan momen bahagia bersama calon istrinya, Li justru menghabiskan saat-saat terakhirnya bekerja lembur di kantor, yang akhirnya menyebabkannya meninggal karena kelelahan yang berujung pada serangan jantung mendadak.

Para ahli kesehatan sudah sering memperingatkan tentang bahaya kerja berlebihan yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius, bahkan kematian. Kasus guru yang meninggal karena kelelahan ini menjadi pengingat menyedihkan tentang pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. 

Berikut ini telah Liputan6.com rangkum kisah lengkapnya dari SCMP, pada Selasa (6/5).

Ada dua warga negara Inggris tersesat di Gunung Agung, Bali. Keduanya ditemukan dalam kondisi kelelahan setelah tersesat jauh dari rute pendakian.

Kerja lembur di hari libur

Li telah bekerja selama lima tahun di sebuah perusahaan bimbingan belajar dan pendidikan di Wuhan, China tengah. Perusahaan ini, yang didirikan pada tahun 2012, menjalankan platform online yang menawarkan kursus bahasa Inggris dan matematika untuk siswa sekolah dasar dan menengah, dengan lebih dari 160 juta pengguna berdasarkan sumber online.

Setelah lulus dari perguruan tinggi, Li bergabung sebagai tutor online di perusahaan tersebut. Dia berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit. Li adalah anak kedua, dengan seorang kakak perempuan yang belum menikah. Ayahnya telah meninggal beberapa tahun lalu, dan ibunya kemudian menikah lagi, menambah beban tanggung jawab pada Li untuk membantu menopang keluarganya.

Selain tanggung jawab keluarga, Li juga sedang mempersiapkan pernikahannya yang direncanakan pada tanggal 2 Mei. Hal ini menambah tekanan pada dirinya untuk bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan finansial untuk pernikahan tersebut. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Li tetap bekerja lembur meskipun hari itu jatuh pada liburan perusahaan.

Ironisnya, alih-alih merayakan pernikahannya, keluarga Li justru harus menghadapi kehilangan yang tak terduga. Seperti yang diungkapkan oleh seorang netizen di media sosial China: "Guru Li seharusnya merayakan pernikahannya, bukan mengucapkan selamat tinggal pada dunia saat bekerja lembur."

Kena serangan jantung akibat kelelahan

Menurut laporan media daratan China, Li baru-baru ini bekerja lembur selama beberapa hari untuk menyelesaikan tugasnya sebelum liburan panjang. Pada tanggal 22 April, Li pergi ke kantor dan bekerja hingga larut malam, meskipun hari tersebut seharusnya termasuk dalam liburan perusahaan.

Ketika tunangannya tidak dapat menghubunginya, dia menjadi khawatir dan akhirnya menelepon polisi. Keesokan paginya, seorang petugas kebersihan menemukan Li tidak sadarkan diri di kantor. Dia kemudian dinyatakan meninggal setelah mengalami serangan jantung mendadak, yang kemungkinan besar dipicu oleh kelelahan ekstrem dan stres akibat beban kerja yang berlebihan.

Pihak berwenang ketenagakerjaan setempat menyatakan bahwa keluarga Li dan perusahaan yang terlibat sedang mempersiapkan dokumen untuk menyatakan bahwa kematiannya terkait dengan pekerjaan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa keluarga Li dapat menerima kompensasi yang sesuai atas kehilangan yang mereka alami.

Pada tanggal 25 April, perusahaan mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan kesedihan atas kematian Li dan berjanji untuk bekerja sama dengan keluarganya. Namun, pernyataan tersebut menekankan bahwa tidak ada lembur yang dijadwalkan untuk tim Li, karena hari itu jatuh selama liburan perusahaan, yang menimbulkan pertanyaan tentang tekanan tidak langsung yang mungkin dirasakan karyawan untuk tetap bekerja meskipun selama periode liburan.

Kondisi Kerja yang Mencekam

Media Tiongkok sebelumnya telah melaporkan jam kerja lembur yang merajalela di perusahaan tempat Li bekerja. Mantan karyawan mengungkapkan bahwa seorang guru rata-rata mengelola 400 siswa, menjawab pertanyaan dari orang tua yang tak ada habisnya, dan secara rutin bekerja lebih dari enam jam tambahan setiap hari.

Kondisi kerja di perusahaan tersebut sangat ketat, di mana staf harus melaporkan kepada supervisor mereka ketika menggunakan kamar mandi atau beristirahat untuk makan siang. Ini menunjukkan tingkat pengawasan dan tekanan yang ekstrem, yang dapat berkontribusi terhadap stres kronis dan masalah kesehatan terkait.

Seorang mantan karyawan, bermarga Wang, mengatakan bahwa dia mengembangkan kecemasan akibat lembur jangka panjang dan akhirnya mengundurkan diri akhir tahun lalu. Kasus lain, seorang karyawan bermarga Zhang, mengundurkan diri sehari setelah mendengar tentang kematian Li, yang menunjukkan dampak psikologis yang kuat dari insiden tersebut terhadap rekan kerja.

Banyak netizen yang mempertanyakan pernyataan perusahaan. Salah satu komentar menyatakan: "Apakah perusahaan menyarankan Li memilih untuk bekerja lembur dengan suka rela? Tanpa tekanan kinerja yang berat dan ketakutan kehilangan pekerjaan, tidak ada yang akan secara sukarela bekerja berlebihan." Ini menggambarkan realitas banyak pekerja yang merasa terpaksa bekerja berlebihan karena takut kehilangan pekerjaan atau tidak memenuhi target yang ditetapkan.

Dampak Budaya Kerja Berlebihan

Insiden ini memicu banyak perhatian di media sosial Tiongkok dengan topik terkait melebihi 70 juta tampilan. Ini menunjukkan keprihatinan publik yang luas terhadap masalah budaya kerja berlebihan dan dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan pekerja.

Seorang pengamat online menyatakan: "Guru Li seharusnya merayakan pernikahannya, bukan mengucapkan selamat tinggal pada dunia saat bekerja lembur." Komentar lain menambahkan: "Banyak perusahaan mendorong karyawan ke dalam lembur 'sukarela' melalui tekanan kinerja dan taktik eliminasi halus." Ini menyoroti praktik bisnis yang problematik di mana karyawan merasa terpaksa bekerja berlebihan untuk mempertahankan pekerjaan mereka.

Undang-undang ketenagakerjaan Tiongkok sebenarnya membatasi jam kerja hingga delapan jam sehari, 44 jam seminggu, dengan tidak lebih dari 36 jam lembur per bulan. Namun, laporan tentang budaya kerja berlebihan terus bermunculan, yang menunjukkan kesenjangan antara regulasi dan implementasi.

Kasus-kasus serupa juga telah terjadi di sektor lain. Pada Juni tahun lalu, sebuah perusahaan teknologi di Tiongkok tenggara memicu kemarahan nasional dengan memberlakukan minggu kerja enam hari dari jam 8 pagi hingga 9 malam. Dalam kasus lain, seorang programmer startup hanya tidur dua jam sehari selama periode sibuk sebelum mengalami pendarahan otak yang membuatnya lumpuh selama berbulan-bulan.

Tanggapan Publik dan Implikasi Sosial

Kematian Li telah memicu diskusi luas di media sosial Tiongkok tentang budaya kerja yang toksik dan eksploitatif. Banyak netizen mengekspresikan kemarahan dan frustrasi terhadap perusahaan yang memungkinkan, atau bahkan mendorong, kondisi kerja yang tidak manusiawi.

Beberapa komentator juga menyoroti ironi bahwa Li meninggal tepat sebelum pernikahannya, menggaris bawahi biaya manusia yang nyata dari budaya kerja berlebihan. Kehilangan ini tidak hanya memengaruhi Li sendiri, tetapi juga keluarganya, tunangannya, dan komunitas yang lebih luas.

Insiden ini juga telah mendorong beberapa pekerja untuk mengambil tindakan. Seperti disebutkan sebelumnya, seorang karyawan mengundurkan diri sehari setelah mendengar tentang kematian Li. Ini mungkin menandakan pergeseran sikap di kalangan pekerja muda China, yang semakin menolak kondisi kerja yang eksploitatif dan menghargai kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Ada juga panggilan untuk reformasi regulasi ketenagakerjaan dan penerapan yang lebih ketat. Meskipun Tiongkok memiliki undang-undang yang membatasi jam kerja, penerapannya sering kali lemah, dan banyak perusahaan menggunakan teknik halus untuk mendorong karyawan bekerja lebih lama dari yang diizinkan secara hukum.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|