Mengapa Merah dan Hijau Jadi Warna Natal? Ternyata Punya Makna Religius yang Mendalam

3 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Setiap Desember, dunia seakan tenggelam dalam kombinasi dua warna yang sama: merah dan hijau. Dari ornamen pohon Natal, baju Santa Claus, hingga lampu-lampu di pusat perbelanjaan, keduanya menjadi palet dominan yang menandai datangnya musim penuh sukacita. Tak peduli apakah kita sedang berada di New York yang bersalju atau di Bali yang beriklim tropis, merah dan hijau tetap hadir membawa nuansa hangat dan akrab. Namun, di balik pesonanya yang begitu melekat pada imajinasi modern tentang Natal, jarang yang benar-benar tahu mengapa dua warna itu dipilih—dan bagaimana keduanya bisa bertahan lintas abad, budaya, bahkan agama.

Kisah di balik warna-warna Natal ternyata panjang dan menarik. Ia melibatkan perjalanan spiritual, transformasi budaya, hingga kekuatan iklan yang membentuk persepsi global. Kombinasi merah dan hijau tidak sekadar pilihan estetika, tetapi hasil dari percampuran berbagai tradisi: kepercayaan kuno bangsa Celtic, simbolisme Kristen, hingga seni abad pertengahan. Dari ritual di tengah hutan Eropa kuno hingga etalase toko di era modern, perjalanan dua warna ini mencerminkan cara manusia memberi makna pada musim dingin, kehidupan, dan harapan. Berikut ulasan selengkapnya yang telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Selasa (23/12).

Berawal dari Alam

Jauh sebelum Natal dikenal sebagai perayaan kelahiran Kristus, masyarakat Eropa utara telah merayakan Winter Solstice, titik balik matahari musim dingin yang menandai malam terpanjang dalam setahun. Bagi bangsa Celtic, peristiwa ini memiliki makna spiritual mendalam: mereka percaya bahwa meski matahari tampak kalah oleh kegelapan, kehidupan tidak benar-benar lenyap. Untuk merayakan ketahanan alam, mereka menggunakan tanaman holly dan ivy — dua tumbuhan hijau yang tetap hidup bahkan di tengah dingin yang membekukan. Daun hijau holly melambangkan ketahanan dan kehidupan abadi, sementara buah merahnya menandakan vitalitas dan kekuatan yang tidak pernah padam.

Bangsa Celtic menggantung ranting-ranting holly di rumah mereka untuk membawa perlindungan dan keberuntungan. Mereka percaya bahwa tanaman ini dapat mengusir roh jahat sekaligus menghadirkan keindahan alam di musim yang suram. Warna merah dan hijau yang mencolok dari holly menjadi simbol visual tentang harapan di tengah kegelapan — ide yang kelak diadopsi dan dipertahankan oleh tradisi Kristen. Meskipun pada masa itu belum ada perayaan Natal, konsep dasar bahwa warna hijau melambangkan kehidupan dan merah melambangkan kekuatan atau semangat sudah tertanam kuat dalam budaya mereka.

Ketika Kekristenan mulai menyebar di Eropa, para misionaris tidak sepenuhnya menolak tradisi lokal ini. Sebaliknya, mereka menggabungkannya dengan simbolisme baru yang sejalan dengan ajaran agama mereka. Maka, holly yang dulu melambangkan perlindungan alam kini diasosiasikan dengan mahkota duri Yesus, sementara buah merahnya dianggap sebagai tetesan darah penebusan dosa. Dengan cara ini, tradisi pagan dan makna religius berpadu harmonis, dan kombinasi merah-hijau perlahan menjadi bagian dari perayaan spiritual baru yang disebut Natal.

Makna Religius dalam Kekristenan

Dalam simbolisme Kristen, warna selalu memiliki makna mendalam, dan merah serta hijau menduduki tempat yang istimewa. Merah menggambarkan darah Kristus, pengorbanan tertinggi yang diyakini menyelamatkan umat manusia. Warna ini juga sering diasosiasikan dengan kasih, semangat, dan keberanian — nilai-nilai yang dianggap mencerminkan cinta Tuhan kepada manusia. Hijau, di sisi lain, merupakan warna kehidupan kekal, terinspirasi dari pohon cemara yang tetap hijau sepanjang tahun. Di tengah musim dingin yang gersang, pohon evergreen menjadi metafora yang kuat bagi janji kehidupan yang tak akan layu.

Selama berabad-abad, gereja-gereja Eropa menggunakan warna-warna ini dalam liturgi dan dekorasi masa Adven, periode empat minggu menjelang Natal. Lilin-lilin merah dan hijau, kain altar, hingga daun holly yang dipasang di jendela gereja menjadi tanda visual bagi jemaat bahwa Natal sudah dekat. Warna-warna ini tidak hanya memperindah gereja, tetapi juga berfungsi sebagai “bahasa spiritual” yang menegaskan pesan keselamatan dan harapan.

Di seni Kristen, simbolisme ini semakin diperkuat. Lukisan-lukisan abad pertengahan sering menampilkan kombinasi merah dan hijau pada pakaian malaikat atau ornamen latar untuk menandai kesucian dan kehidupan baru. Dalam representasi visual Kelahiran Kristus, warna hijau biasanya muncul dalam bentuk padang rumput atau daun cemara, sementara merah hadir pada busana Maria atau simbol api kasih Tuhan.

Menariknya, bahkan dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen, warna merah dan hijau menjadi pengingat konstan akan makna rohani Natal. Di setiap lilin, pita, atau ornamen yang berwarna serupa, terkandung pesan yang sama: bahwa kasih dan kehidupan terus bertahan, bahkan di tengah musim yang paling gelap. Itulah sebabnya warna ini tak sekadar dekorasi, tetapi juga ekspresi iman dan harapan.

Dari Gereja ke Seni: Warna dalam Abad Pertengahan

Di luar makna religius, warna merah dan hijau juga memiliki akar mendalam dalam seni dan arsitektur abad pertengahan. Penelitian sejarawan seni Spike Bucklow dari Universitas Cambridge mengungkap bahwa kedua warna ini mendominasi lukisan dan ornamen di rood screens — sekat artistik yang memisahkan area jemaat dan altar di gereja abad ke-13. Para seniman masa itu menggunakan pigmen merah yang berasal dari besi dan hijau dari tembaga, dua logam yang dalam astrologi diasosiasikan dengan Mars (dewa perang) dan Venus (dewi cinta).

Bagi masyarakat abad pertengahan, warna-warna itu tidak hanya memiliki nilai estetis, tetapi juga filosofis. Merah dan hijau dianggap mewakili dualitas kehidupan: maskulin dan feminin, perang dan cinta, duniawi dan surgawi. Ketika keduanya dipadukan dalam satu karya seni, mereka menggambarkan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan — nilai yang juga relevan dalam konteks spiritual. Dengan demikian, warna merah-hijau menjadi simbol transisi dari dunia fana menuju dunia ilahi, dari profan ke sakral.

Meski tradisi rood screen akhirnya punah pada masa Reformasi, warna-warna itu tetap bertahan dalam ingatan budaya Eropa. Saat era Victoria tiba beberapa abad kemudian, masyarakat mulai “menemukan kembali” estetika merah-hijau yang kaya simbolisme itu, lalu menggunakannya untuk memperindah perayaan Natal yang tengah tumbuh populer di kalangan kelas menengah Inggris.

Ketika Natal Menjadi Romantis dan Estetis di Era Victoria

Pada abad ke-19, di tengah Revolusi Industri yang mengubah wajah Eropa, masyarakat Inggris mulai mencari makna baru dalam tradisi. Di sinilah era Victoria memainkan peran besar dalam membentuk wajah Natal modern. Melalui karya sastra seperti A Christmas Carol karya Charles Dickens dan tradisi mengirim kartu Natal yang menampilkan ilustrasi daun holly dan buah merahnya, warna merah dan hijau kembali meraih popularitas. Mereka bukan lagi sekadar simbol keagamaan, melainkan juga lambang kehangatan rumah dan kebersamaan keluarga.

Gerakan Gothic Revival di periode ini turut berperan dalam menghidupkan kembali gaya arsitektur dan dekorasi abad pertengahan, termasuk palet merah-hijau yang khas. Bagi kaum Victoria, perpaduan warna itu membawa nuansa nostalgia akan masa lalu yang religius sekaligus estetis. Dekorasi Natal di rumah-rumah Inggris kala itu mulai menggunakan daun holly, ivy, dan pita merah—tradisi yang dengan cepat menyebar ke Eropa dan Amerika.

Dari sinilah warna merah dan hijau mulai menempati posisi yang lebih “universal.” Natal menjadi perayaan yang bukan hanya milik gereja, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan budaya populer. Namun, warna-warna ini baru benar-benar melekat kuat di seluruh dunia setelah satu peristiwa penting di abad ke-20: iklan Coca-Cola yang menampilkan Santa Claus berjas merah.

Simbolisme Cinta, Kehidupan, dan Harapan

Kini, setiap kali kita melihat hiasan merah dan hijau di pusat perbelanjaan atau di rumah-rumah, kita sesungguhnya sedang menyaksikan simbol kuno yang telah berevolusi selama ribuan tahun. Warna merah tak hanya melambangkan darah dan pengorbanan, tetapi juga kehangatan kasih, semangat memberi, dan cinta keluarga yang menjadi inti perayaan Natal. Di sisi lain, hijau melambangkan harapan, pembaruan, dan kehidupan abadi — pengingat bahwa setelah setiap musim dingin, selalu ada musim semi yang menanti.

Dalam konteks modern, dua warna ini juga menjadi representasi dari keseimbangan: merah yang berani dan ekspresif berpadu dengan hijau yang tenang dan menyembuhkan. Bersama, mereka menciptakan harmoni visual yang mengundang rasa hangat dan damai — emosi yang ingin dihadirkan oleh Natal itu sendiri. Bahkan tanpa memahami sejarah panjangnya, kebanyakan orang tetap dapat merasakan makna emosional dari kombinasi keduanya.

Akhirnya, merah dan hijau bukan sekadar warna dekoratif yang menghiasi pohon Natal atau kartu ucapan. Mereka adalah simbol perjalanan panjang manusia mencari makna di tengah musim tergelap, simbol keinginan abadi untuk menyalakan terang, merayakan kehidupan, dan mempercayai harapan. Dalam setiap cahaya lampu merah dan daun hijau yang berkilau, tersimpan kisah ribuan tahun tentang cinta, iman, dan ketahanan hidup.

Pertanyaan dan Jawaban Seputar Topik

1. Kapan warna merah dan hijau mulai dikaitkan dengan Natal?

Sejak zaman bangsa Celtic kuno yang menggunakan tanaman holly (daun hijau, buah merah) dalam perayaan musim dingin, lalu dipertegas oleh tradisi Kristen dan populer sejak abad ke-19.

2. Apa makna warna merah pada Natal?

Merah melambangkan darah Yesus Kristus, kasih, dan semangat memberi yang menjadi inti perayaan Natal.

3. Mengapa warna hijau penting pada Natal?

Hijau melambangkan kehidupan abadi, harapan, dan pembaruan—terinspirasi dari pohon cemara yang tetap hijau sepanjang tahun.

Read Entire Article
Hasil Tangan | Tenaga Kerja | Perikanan | Berita Kumba|