Liputan6.com, Jakarta Deretan iklan spanduk rumah dijual terpampang jelas di antara pohon serta lampu penerangan, kawasan Jalan Palagan, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Di sana tercantum harga yang fantastis, mulai dari Rp 950 juta untuk tipe 70, sampai Rp 2 miliar untuk tipe 100 dan 180, dengan luas tanah sebesar 16.287 m².
Begeser ke bilangan Gejayan yang dekat dengan kota, narasi penjualan rumah dengan harga bersaing makin terlihat. Salah satu di antaranya terdapat penawaran di angka Rp 1,5 miliar, dengan luas tanah 90 sampai 205 m² dan luas bangunan mencapai 86 sampai 290 m². Di sana, disodorkan juga benefit berupa “free mobil tanpa diundi” bagi konsumen yang mengangsurnya.
Melihat promosi yang masif ini, sejumlah warga di Jogja merasa harga tersebut tak masuk akal. Ibal, perantau asal Sumatera yang menetap di Jogja sejak 2014 lalu menyebut, jika ingin memiliki rumah di Jogja harus mempunyai modal finansial yang kuat.
“Waktu itu memang sudah diniati tinggal di Jogja karena kesempatannya dirasa lebih besar. Tapi kenyataannya susah juga punya rumah di sini,” ucap pria 30 tahun itu, sedikit merenung.
Sebagai pekerja swasta, ia mengaku terkejut dengan harga yang bermunculan dan belum terbayang untuk menjangkaunya. Meski begitu, ia juga tak menampik jika memiliki hunian di sini adalah impian terbesarnya.
“Gaji aja belum sampai UMR. Ini jelas masih kurang untuk saving beli rumah. Biaya kos aja sekarang Rp800 ribu, terus sisa Rp1,6 juta. Ini buat kebutuhan sehari-hari Rp60-80 ribu sudah mepet,” keluhnya.
Rela Bunuh Hobi demi Tetap Tinggal di Jogja
Jogja sendiri dianggap Ibal sebagai tempat yang nyaman. Itulah mengapa, Ia memilih tidak pulang kampung dan memutuskan untuk sewa rumah kontrakan. Menurutnya, ini lebih masuk akal, sembari menabung dan mencari peluang yang lebih besar.
“Kebetulan saat ini masih ngekos dan sekarang sedang cari kontrakan untuk ditinggali setelah menikah,” katanya.
Sebagai siasat, ia mulai menekan pengeluaran yang tidak perlu. Keputusan paling besarnya adalah mengurangi intensitas hobi bermain musik yang sudah ditekuni sejak lama. “Sebelumnya memang selalu spend uang buat ngopi, main band, dan lain-lain, akhirnya di-cut off dan dialihkan untuk tabungan jangka panjang, siapa tau bisa terbeli,” katanya.
Harapan Ibal mengudara, menanti agar harga rumah di Jogja bisa bersahabat bagi perantau seperti dirinya. Masalanya, berdasarkan riset yang ia lakukan di media sosial, banyak rumah yang ditawarkan dengan harga tinggi di kisaran Rp400 juta, Rp500 juta.
“Di Sumatera aja cuma Rp200 jutaan sudah dapat rumah di dekat kota. Bahkan Rp500 juta itu sudah mewah, Rp1 miliar apalagi,” katanya, tertawa.
Sebenarnya ia merasa tertarik dengan rumah subsidi, tapi sayangnya masih minim informasi. Ia menekankan pentingnya perhitungan ulang UMR agar sesuai dengan kebutuhan harian masyarakat Jogja.
“Harapannya, UMR bisa disesuaikan dengan kebutuhan hidup harian. Ini bisa buka peluang buat punya rumah juga. Terus, perlu digencarkan lagi promosi rumah subsidi, info harga, info luas bangunan, fasilitas, lokasi dan lain-lain, walau pada akhirnya tetap gak terjangkau juga,” tambah Ibal.
Gaji di Atas UMR Tak Menjamin Bisa Beli Rumah di Jogja
Nyatanya, harga rumah yang selangit juga belum terjangkau oleh pekerja bergaji di atas UMR seperti Mubarok. Pria 28 tahun yang bekerja sebagai digital marketing di Kota Jogja ini, merasa, harga rumah masih sangat tinggi, meski gajinya sudah Rp4 juta per bulan.
“Model KPR itu cicilannya berat banget. Belum bunganya. Terus kalau ada PHK, khawatir tidak bisa melanjutkan. Gimana mau ngelunasin, coba,” kata Mubarok, yang merupakan perantau asal Kabupaten Karawang itu.
“Beli rumah di tengah Kota Jogja memang susah, tapi mungkin di daerah-daerah pinggirannya bisa. Pengen cari sebenarnya, tapi paling mepet-mepet sama Purworejo yang mungkin lebih murah,” timpalnya.
Mubarok mengaku lebih tertarik dengan konsep rumah tumbuh yang dianggap lebih realistis untuk dibeli. Ia punya rencana untuk membangun tempat tinggal pelan-pelan, hingga layak ditempati setelah berkeluarga kelak.
“Kecil nggak papa, buat aku. Asal murah dan aksesnya gampang. Nanti kan bisa tambah kamar, tambah dapur gitu” kata Mubarok.
Punya Rumah di Jogja Seperti Menempuh Jalan Panjang
Meski mayoritas pesimis untuk memiliki rumah di Jogja, bukan berarti tak bisa sama sekali. Aziz (35) jadi salah satu contoh pendatang yang berhasil mencicil rumah, walau sadar harganya tidak ramah.
“Harga rumahnya emang mahal banget. Nominalnya hampir sama kaya temenku di Bandung yang beli rumah, dengan kondisi ekonomi daerah yang sangat berbeda,” kata pria asli Cilacap itu.
Aziz menyebut, untuk bisa memiliki rumah di Jogja, harus pindah kerja sana, pindah kerja sini. Mulanya, ia sempat menjadi karyawan di salah satu kantor dengan gaji di bawah UMR. Diakuinya sulit untuk saving, apalagi beli rumah. Kemudian, ikhtiarnya menuntun untuk pindah ke perusahaan lain dengan gaji di atasnya.
Tak berhenti sampai di sana. Takdir lantas menunjukkan jalan bagi Aziz untuk bekerja remote di salah satu start up asal Jakarta, dengan penghasilan jauh lebih tinggi. Kurang lebih 2 tahun Aziz mengadu nasib, badai PHK Covid-19 kemudian menerpanya. Namun, tekad memiliki rumah tetap bulat, dan ia berhasil mencicil rumah dari jerih payah sebelum efisiensi, juga dibantu usaha kuliner sang istri.
“Waktu itu surveinya ke Bantul sampai Klaten tiap Sabtu-Minggu selama 5 bulan. Dari sana, dapatlah di Ngaglik yang paling murah waktu 2022, per meternya di harga Rp1,7 juta yang akhirnya aku pilih,” kata Aziz.
Mencicil 20 Tahun Tak Masalah Asal Punya Rumah di Jogja
Adapun rumah yang saat ini ia tempati bertipe 45 dan sudah diangsur selama 3 tahun. Lokasinya berada di Jalan Besi-Jangkang, Kabupaten Sleman. Jangka waktu angsurannya cukup panjang, sampai 20 tahun, dengan lebar tanah 120 m² dan luas rumah 42 m² yang dirasa masih terlalu kecil.
Mengangsur hingga puluhan tahun memang penuh risiko. Dirinya yang kini fokus mengurus usaha kuliner, sadar betul keuangannya tidak se-stabil pekerja dengan gaji bulanan tetap. Harga jual yang ia ambil ketika itu juga tinggi di angka Rp350 juta. Meski dirasa berat karena situasi ekonomi yang bisa gonjang-ganjing kapan saja, ia tetap optimis, karena skema yang ditawarkan bank serta developer jelas.
Aziz juga mengaku beruntung, sebab usaha kuliner yang menjadi tumpuan hidup sudah bisa membuka jalan mendapatkan rumah idaman. Selain itu, ia juga juga mendapat bantuan dari orang tua untuk melunasi DP-nya yang sempat ditalangi developer di luar kontrak bank.
“Kebetulan waktu itu dengan skema bank yang cukup lumayan tinggi, aku bisa kerja sama dengan developer. Aku nyicil dp-nya ke developer, kasarnya ditalangi dulu sampai aku bisa lunasi uang muka sebesar Rp100 juta, yang dilanjut ngangsur sampai 2040,” kata Aziz
Aziz menambahkan, bahwa sangat mustahil untuk membeli rumah di sini jika hanya mengandalkan gaji UMR Jogja. Setidaknya, calon pemilik harus memiliki penghasilan jauh di atas upah minimun, menggabungkan pendapatan dengan istri atau mendapat bantuan dari orang tua. “Alhamdulillah, dari jual katering ini bisa dapat rata-rata Rp5 juta sampai Rp6 juta per bulan. Aku terus nyicil dua tahun awal itu mulai dari Rp2,5 juta, terus flat mulai tahun ke tujuh di angka Rp3,7 juta sampai tahun 2042,” tambahnya.
Branding Kota Pelajar hingga Daerah Wisata Jadi Penyebab Harga Rumah Mahal
Mahalnya harga hunian di Jogja bukan tanpa sebab. Kota ini ibarat magnet uang bagi sejumlah kalangan. Posisi Jogja sebagai kota pendidikan, kawasan wisata, pusat studi budaya dan daerah untuk menghabiskan masa tua, membuat investasi hunian terus berputar.
Dosen Program Studi Analisis Keuangan Digital Program Sarjana Terapan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia, yang juga mantan praktisi perbankan, Dr. Aidha Trisanty S.E., M.M menuturkan bahwa, banyak pihak dari luar wilayah yang memanfaatkan Jogja untuk berinvestasi hunian.
Model bisnisnya bermacam-macam, mulai dari villa dan homestay, mendirikan kluster ekslusif sampai menyediakan perumahan berbasis sewa kontrak. Fenomena ini menarik, lantaran di kota-kota lain perumahan biasanya dijual bukan disewakan oleh developer.
“Mahalnya harga rumah di Jogja karena tingginya permintaan. Ini terkait supply atau penawarannya terbatas, namun yang mencari selalu bertambah. Itu yang kemudian mendorong munculnya model bisnis hunian baru dengan standar pasar sesuai permintaan,” katanya.
Permintaan Tanpa Ada Tawar Menawar Menciptakan Pasar Baru
Aidha menyebut, jika banyak pengusaha luar Jogja yang membeli tanah di kota ini tidak mempertimbangkan masalah harga. Alhasil tercipta suatu perilaku konsumen baru, di mana standar harga bangunan akan menyesuaikan dengan kemampuan finansial si pembeli tanah.
“Artinya ketika kita menjual di atas harga pasar, akan tetap ada orang yang mau beli. Lalu, ada pemilik lain yang melihat harga ini, otomatis jualnya di harga yang sama-sama tinggi karena tetap laku. Ini akhirnya jadi standar paten harga rumah di Jogja yang mahal,” katanya.
Kondisi ini jelas menyulitkan masyarakat ekonomi kelas menengah, bahkan masyarakat asli Jogja untuk memiliki rumah. Akhirnya, perumahan-perumahan yang dibangun bukan diperuntukkan bagi warga Jogja ataupun perantau dengan gaji rendah.
“Saya kebetulan punya data harga rumah di daerah Wedomartani. Posisinya di kampung dengan luas bangunan sekitar 80 meter, tapi mintanya Rp1 Miliar lebih, dengan kondisi bangunan lawas. Siapa yang bisa beli? Kalau kita berbicara pekerja dengan gaji rendah,” katanya.
Rumah Subsidi Jadi Solusi
Berbicara solusi, Aidha memberi saran agar fenomena rumah mahal di Jogja bisa ditekan. Promosi rumah subsidi murah bisa terus digencarkan, serta dibenahi fasilitas pendukungnya. Seringkali, posisi unit jauh dari pusat kota sehingga konsumen enggan membeli.
“Soal rumah subsidi, pr bagi pemerintah adalah, perlu memperhatikan aksesnya. Jangan sampai motor atau mobil sulit masuk, airnya juga susah. Fasilitas pendukung harus diperhatikan, termasuk syarat juga bisa dipermudah agar bisa diakses optimal,” katanya.
Ditekankan Aidha, para pekerja yang ingin memiliki rumah di Jogja bisa mulai memperhatikan pengelolaan finansial secara detail. Pemasukan tiap bulan, bisa dibagi sesuai skala prioritasnya. Dari sini, kemungkinan kelas menengah untuk memiliki hunian bisa sangat dimungkinkan.
“Kalau memang kebutuhan kita adalah rumah, kemudian kita harus menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk mengangsur rumah tadi, artinya untuk kebutuhan yang tidak penting dicut dulu,” tambahnya.