Liputan6.com, Jakarta Jakarta – Olahraga lari yang dulu identik dengan aktivitas sederhana dan murah kini berubah menjadi fenomena gaya hidup. Bagi Gen Z, event lari bukan sekadar olahraga, tapi juga wadah aktualisasi diri sekaligus tren sosial yang sarat dengan nilai gengsi.
Jika sebelumnya ajang lari lebih lekat dengan atlet profesional, kini komunitas hingga individu dari berbagai usia ikut meramaikan. Generasi muda khususnya, menjadikan lari sebagai “panggung” untuk menunjukkan kepedulian pada kesehatan, meski ada juga yang hanya terjebak FOMO.
Sepanjang 2024, tercatat 257 event lari terselenggara di Indonesia, meningkat 60% dari tahun sebelumnya. Dominasi Gen Z dan milenial terlihat jelas dengan rasio 2:1, sementara event besar seperti Jakarta Marathon, Pocari Sweat Run, hingga Borobudur Marathon kian banjir peserta.
Apakah untuk Hidup Sehat?
Data menarik diberikan oleh aplikasi Garmin Connect. Menurut data Desember 2024, tercatat 142.975 aktivitas lari yang meningkat menjadi 175.969 aktivitas di April 2025. Bahkan, angka ini melonjak signifikan menjadi 242.627 aktivitas lari pada Mei 2025. Lonjakan ini menjadikan lari sebagai salah satu olahraga dengan pertumbuhan sosial tercepat di Indonesia.
Tak sedikit yang menganggap fenomena ikut event lari hanya sekadar tren musiman atau bentuk FOMO. Outfit lari yang stylish, pamer medali finisher di media sosial, hingga unggahan selfie pasca lari kadang membuat ajang ini terlihat lebih sebagai gaya hidup sosial ketimbang komitmen olahraga.
Namun, di balik euforia tersebut ada efek positif yang tidak bisa diabaikan. Meski niat awal sekadar ikut-ikutan, banyak Gen Z akhirnya menjadikan lari sebagai bagian dari rutinitas sehat mereka. Keikutsertaan dalam event lari memicu kesadaran akan pentingnya kebugaran, membangun kebiasaan olahraga, serta memperluas koneksi sosial dalam komunitas yang suportif.
Tren Lari dan Dampaknya bagi Ekonomi serta Gaya Hidup
Lari yang dulu identik dengan olahraga murah kini berubah menjadi gaya hidup sekaligus penggerak ekonomi. Event lari tidak hanya memberi ruang bagi masyarakat untuk hidup sehat, tetapi juga menciptakan peluang besar bagi industri pariwisata, fashion olahraga, hingga teknologi digital.
Setiap kali sebuah event digelar, kota penyelenggara otomatis ramai oleh pelari dari luar daerah. Kondisi ini mendorong permintaan akan hotel, transportasi, kuliner, hingga produk lokal. UMKM pun ikut kecipratan rezeki, mulai dari pedagang makanan, penyedia jasa, hingga pengrajin suvenir khas daerah.
Tak hanya itu, tren lari membuka pasar baru bagi brand olahraga dan gaya hidup sehat. Sepatu lari, pakaian quick-dry, smartwatch, hingga minuman elektrolit menjadi perlengkapan wajib. Aplikasi digital seperti Strava, Garmin Connect, hingga Nike Run Club juga semakin populer, bahkan melahirkan influencer lari yang memanfaatkan momentum untuk promosi dan konten kreatif.
Lebih jauh lagi, lari berdampak positif pada kesehatan nasional. Semakin banyak masyarakat yang aktif bergerak, risiko penyakit tidak menular seperti jantung dan diabetes dapat ditekan. Produktivitas pun meningkat seiring tubuh yang lebih bugar.
Pada akhirnya, tren lari bisa jadi sekadar ikut-ikutan alias FOMO bagi sebagian orang, namun dampaknya tetap nyata. Baik untuk kesehatan, gaya hidup, maupun roda ekonomi, lari telah menjadi fenomena sosial yang layak diapresiasi.