Liputan6.com, Jakarta Dalam sejarah peradaban manusia, suara rakyat kerap menjadi faktor penentu arah perjalanan bangsa. Sebuah ungkapan klasik dalam bahasa Latin, vox populi vox dei, yang berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan”, menjadi adagium yang hingga kini masih bergema dalam diskursus politik, demokrasi, dan moralitas publik. Frasa ini telah menyeberangi batas-batas waktu dan budaya, dari abad pertengahan di Eropa hingga demokrasi modern di berbagai belahan dunia.
Namun, makna dari ungkapan ini tidak selalu tunggal. Dalam perjalanan sejarah, vox populi vox dei pernah dianggap sebagai peringatan terhadap bahaya kehendak massa yang tidak rasional, tetapi di sisi lain juga dipandang sebagai dasar dari legitimasi politik dalam sistem demokrasi. Hal ini membuat adagium tersebut sarat dengan perdebatan filosofis dan politis.
Di tengah dunia yang semakin terhubung dengan teknologi dan media, pertanyaan penting muncul kembali: apakah suara rakyat benar-benar mencerminkan kebenaran universal, atau sekadar cermin dari kepentingan yang memengaruhi mereka? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami makna, akar sejarah, serta implementasi vox populi vox dei dalam kehidupan bernegara. Berikut ulasan Liputan6.com tentang arti vox populi vox dei, Selasa (2/9/2025).
Arti Vox Populi Vox Dei
Frasa vox populi vox dei secara harfiah berarti “the voice of the people is the voice of God” atau “suara rakyat adalah suara Tuhan.” Menurut Wisdom Library (2021), adagium ini mencerminkan prinsip bahwa opini kolektif masyarakat memiliki nilai luhur yang seolah-olah bersifat ilahi, terutama dalam konteks kebijaksanaan dan kebenaran. Ungkapan ini juga dikenal sebagai sinonim dari “public opinion,” “people’s voice,” atau “common sentiment.”
Dalam catatan sejarah, kalimat ini pertama kali muncul dalam surat Alkuin dari York kepada Charlemagne pada abad ke-8. Namun, pada konteks awalnya, Alkuin justru memperingatkan agar seorang raja tidak selalu tunduk pada kehendak massa. Menurutnya, rakyat mudah dipengaruhi emosi, tidak selalu rasional, dan bisa terjebak dalam keputusan yang keliru. Dengan demikian, pada awalnya vox populi vox dei lebih berupa kritik daripada pujian terhadap suara rakyat (Triveni Journal, 1999).
Seiring perkembangan zaman, terutama setelah Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika, adagium ini mendapatkan makna baru. Ia dijadikan simbol bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam demokrasi modern, vox populi vox dei sering dipahami sebagai dasar bahwa suara rakyat dalam pemilu merupakan wujud legitimasi politik tertinggi.
Dalam perspektif filsafat politik, pemaknaan adagium ini juga beragam. Rousseau menghubungkannya dengan konsep general will atau kehendak umum, yang hanya benar-benar mencerminkan kebenaran jika rakyat tercerahkan dan mengedepankan kepentingan kolektif. Alexis de Tocqueville mengingatkan adanya risiko tyranny of the majority ketika suara rakyat mayoritas menekan minoritas. Sedangkan Antonio Gramsci menyoroti bagaimana opini publik sering dibentuk oleh hegemoni elite melalui media dan institusi.
Implementasi Vox Populi Vox Dei dalam Kehidupan Bernegara
Dalam praktik bernegara, adagium ini mendapat tempat penting dalam sistem demokrasi. Konsep kedaulatan rakyat (popular sovereignty) menjadikan suara rakyat sebagai dasar legitimasi pemerintahan. Pemilu, referendum, hingga musyawarah kebangsaan merupakan wujud nyata dari implementasi prinsip ini.
Di India, misalnya, vox populi vox dei dikaitkan dengan nilai-nilai dalam kitab Purana dan Itihasa, yang menekankan pentingnya kebijaksanaan kolektif sebagai cerminan kehendak ilahi. Dalam tradisi Hindu, hal ini dipahami sebagai refleksi bahwa kebenaran dapat ditemukan dalam pemahaman bersama masyarakat (Yoga Vasistha, vol. 1–4).
Dalam konteks Indonesia, Pancasila dan UUD 1945 menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Pemilu sebagai sarana memilih pemimpin dan wakil rakyat adalah bentuk nyata vox populi vox dei dalam praktik demokrasi. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, suara rakyat bisa dimanipulasi oleh propaganda atau kekuatan tertentu. Oleh karena itu, pendidikan politik dan media yang sehat menjadi kunci agar suara rakyat benar-benar mencerminkan aspirasi autentik, bukan hasil manipulasi.
Jurgen Habermas, melalui konsep public sphere, menekankan bahwa demokrasi sehat membutuhkan ruang publik yang rasional, inklusif, dan dialogis. Artinya, vox populi hanya bisa mendekati vox dei jika rakyat memiliki pengetahuan, kebebasan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam diskusi publik secara adil. Tanpa itu, suara rakyat dapat terdistorsi oleh kepentingan sempit atau informasi yang salah.
FAQ tentang Vox Populi Vox Dei
1. Apa arti harfiah dari vox populi vox dei?
Frasa ini berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan,” yang melambangkan pentingnya opini publik dalam menentukan kebenaran dan legitimasi politik.
2. Apakah vox populi vox dei selalu benar?
Tidak selalu. Sejarah mencatat bahwa opini publik dapat salah, emosional, atau dimanipulasi. Karena itu, pendidikan politik dan ruang publik yang sehat diperlukan agar suara rakyat lebih berkualitas.
3. Siapa yang pertama kali menggunakan ungkapan vox populi vox dei?
Ungkapan ini pertama kali muncul dalam surat Alkuin kepada Charlemagne pada abad ke-8, namun awalnya berupa peringatan terhadap bahaya mengikuti kehendak massa.
4. Bagaimana penerapan vox populi vox dei di Indonesia?
Penerapannya tercermin dalam prinsip kedaulatan rakyat sesuai UUD 1945, khususnya melalui pemilu yang menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi pemerintahan.
5. Apa tantangan utama dalam menerapkan vox populi vox dei di era modern?
Tantangan utamanya adalah manipulasi opini publik melalui media, algoritma media sosial, polarisasi politik, dan lemahnya literasi politik masyarakat.
Rujukan
- Wisdom Library. (2021). Significance of Vox Populi Vox Dei. www.wisdomlib.org/concept/vox-populi-vox-dei
- Triveni Journal. (1999). Vox Populi Vox Dei and Democracy.
- Rousseau, J-J. (1762). The Social Contract.
- Tocqueville, A. (1835). Democracy in America.
- Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks.
- Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism.
- Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere.
- Yoga Vasistha, Vol. 1–4 (English Translation).